Saturday, January 5, 2019

Surat Cinta Tere Liye untuk Capres dan Cawapres 2019

SURAT TERBUKA TENTANG LITERASI
KEPADA CALON PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Yth. Bapak Calon Presiden
Di Tempat

Perkenalkan, nama saya Tere Liye, penulis buku. Hingga hari ini, saya menulis 34 buku yang diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama dan Republika. Saya hanyalah satu diantara ribuan penulis lainnya di Indonesia, saya bukan penulis penting, pun bukan penulis terkemuka yang pernah dimiliki Indonesia. Tapi ijinkan saya menyampaikan beberapa konsen, yang mungkin bisa menjadi masukan atas program kerja pemerintahan kelak.

Saya jamin, saya bukan pendukung salah-satu calon presiden, pun tidak memiliki afiliasi politik dengan partai, kelompok, atau organisasi apapun. Konsen ini disampaikan atas dasar kebaikan bersama.

Bapak Calon Presiden,

Adalah data akurat bahwa penduduk Indonesia, 98% bisa membaca, kita sangat hebat dalam capaian ini. Tapi sejatinya, itu hanyalah angka ‘bisa membaca’. Berdasarkan World Bank’s Indonesia Economic Quarterly Report edisi Juni 2018, 55% penduduk Indonesia mengalami “buta huruf secara fungsional”, Apa artinya? Sederhana, dari enam level kemampuan membaca, penduduk Indonesia ternyata hanya mentok di level 1, kita ‘hanya bisa membaca’, tapi tidak mampu memahami bacaan, tidak bisa membuat kesimpulan, tidak mampu mencari ide pokok tulisan, bahkan tidak bisa membedakan apakah tulisan yang dibacanya mengandung kebenaran atau hoax, dan sebagainya, dan sebagainya.

Berdasarakan data World's Most Literate Nations tahun 2016 yang disusun oleh Central Connecticut State University, Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara yang disurvei. Kita hanya beda satu urutan dengan Botswana. Belum lagi jika menyimak produksi buku per kapita, jumlah buku yang dibaca perkapita.

Adalah benar, penduduk kita 98% bisa membaca, tapi jika dilihat lagi lebih seksama, apakah anak-anak SD, SMP dan SMA kita suka membaca buku, berapa buku yang mereka baca dalam setahun, berapa persen dari mereka yang ‘tahan’ membaca tulisan sepanjang 5.000 kata, hasilnya akan sangat mencemaskan. Kita sangat sangat tertinggal.

Maka, itulah yang terjadi di media sosial kita hari ini, ketika hoax, berita-berita bohong, informasi-informasi dusta bisa beredar luas. Jangankan yang “buta huruf secara fungsional”, bahkan yang terdidik, punya kemampuan membaca tinggi sekalipun tetap bisa tertipu, atau malah menjadi pelaku hoax. Ini adalah realitas yang semestinya dicari jalan keluarnya.

Kita harus meningkatkan kemampuan membaca bangsa Indonesia. Dan itu artinya, mendesak bagi anak-anak kita, penting bagi generasi kita mulai banyak membaca buku. Anak SD, SMP dan SMA harus membaca minimal sekian buku dalam setahun, sekaligus meningkatkan kemampuan literasi mereka, bukan hanya menghabiskan waktu dengan gadget mereka. Jangan sampai, mereka lebih sering membaca facebook, twitter, Instagram, youtube, dibanding membaca buku.

Apakah isu ini penting sekali? Sangat penting. Bahkan kalaupun mereka bercita-cita menjadi selebgram, youtuber, gamer, dan profesi milenial lainnya, literasi tetap mendesak. Atau karir mereka hanya akan berusia pendek, tidak langgeng, ditelan oleh selebgram, youtuber, dan gamer profesional yang tahu sekali betapa pentingnya literasi untuk meningkatkan kemampuan mereka.

Oleh karena itu, lewat surat terbuka ini, ijinkan saya menyarankan beberapa hal berikut yang bisa dilakukan jika Bapak terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024:

1. Hapus total PPN buku

Kondisi saat ini, ada beberapa jenis buku yang memang tidak lagi dikenakan PPN, tapi praktik di lapangan, tidak semudah yang dibayangkan. Maka, agar semua menjadi simpel, hapus total PPN buku—apapun jenis bukunya. Silahkan cek data di Kementerian Keuangan, total PPN buku sangat kecil dalam pendapatan negara. Menghapusnya tidak akan membuat pemerintahan kesulitan pendanaan pembangunan, malah sebaliknya, itu akan menguntungkan calon pembaca buku. Karena buku akan lebih murah 10%.

2. Jadikan pajak royalti bersifat final dengan tarif 5%

Kondisi hari ini, setiap penulis dikenakan pajak royalti dengan tarif 15%. Pajak ini bisa dikreditkan saat menghitung SPT tahunan, dan penulis bisa menggunakan NPPN (Norma Penghitungan Pajak Netto). Jika kita sepakat bahwa literasi sangat penting, maka tentu tidak akan sulit untuk mengubah peraturan ini. Jadikan pajak royalti bersifat final dengan tarif maksimal 5%. Ini akan menyederhanakan pajak bagi penulis. Lagi-lagi, menurunkan tarif pajak royalti penulis, serta mengubah sifatnya menjadi final, tidak akan membuat pemerintah kesulitan, karena angkanya sangat kecil, tidak signifikan. Tapi jelas akan memberikan insentif bagi penulis Indonesia, yang sebagian besar diantara mereka bahkan tidak bisa mencukupi kehidupannya hanya dengan menulis.

3. Revitalisasi perpustakaan sekolah

Pasal 23 (6) UU No. 43/2007 tentang Perpustakaan telah mewajibkan 5% anggaran sekolah harus digunakan untuk perpustakaan. Tapi realita di lapangan, ada banyak sekolah yang justeru tidak memiliki perpustakaan. Meskipun kita tidak bisa menutup mata, juga ada sekolah yang tidak hanya perpustakaannya baik sekali, mereka bahkan memiliki pojok literasi di setiap kelas. Pemerintah harus memastikan peraturan ini dilaksanakan dengan disiplin, sehingga semua sekolah bisa memiliki perpustakaan yang seru bagi murid-muridnya, bukan hanya tumpukan buku kecokelatan, bau, sama sekali tidak mengundang selera didatangi. Pemerintah bisa menambah dana BOS atau BOSDA khusus untuk revitalisasi perpustakaan sekolah.

4. Berikan insentif kepada industri buku

Kita selalu bicara tentang subsidi BBM, listrik. Kita juga selalu bicara tentang harga bahan pangan murah, sembako murah, tapi entah mulai kapan kita mau memikirkan tentang ‘buku murah’. Bagaimana mungkin anak-anak kita, generasi kita akan menyukai membaca buku jika perpustakaan tidak ada, akses buku susah, harga buku pun ternyata mahal. Adalah fakta, hanya kota-kota besar saja yang memiliki toko buku yang baik. Hal ini tentu bisa diatasi dengan keberadaan toko online, tapi apapun itu, isu terpentingnya adalah mari mulai memikirkan tentang ‘buku murah’, agar dari manapun calon pembaca membelinya, mereka bisa memperoleh harga murah.

5. Wajibkan pemerintah daerah serta BUMN untuk menggelar festival literasi dan pameran buku secara berkala.

Pertunjukan musik, konser, dan acara sejenisnya jauh lebih banyak dibanding festival literasi dan pameran buku. Kita dengan mudah menemukan spanduk acara musik dibanding spanduk acara literasi. Apa penyebabnya? Sederhana, pertunjukan musik lebih menjual dibanding acara literasi. Tapi jika sepakat bahwa literasi penting bagi peradaban, maka sudah saatnya sedikit mengubah keseimbangan. Wajibkan pemerintah daerah, serta BUMN untuk menggelar festival literasi dan pameran buku di daerah-daerah secara berkala. Ini bukan hanya soal ‘pesta’, ‘festival’, itu akan membangkitkan gairah membaca bagi generasi muda. Dan jika beruntung, bisa menjadi pusat kegiatan wisata yang menarik.

6. Berantas buku bajakan

Nasib penulis di Indonesia itu tidak mudah. Selain menghadapi rendahnya minat baca, rendahnya penjualan, tingginya pajak, mereka juga harus menerima fakta, buku-buku mereka dibajak. Terlebih dengan hadirnya toko online, buku-buku bajakan dijual dengan sangat bebasnya di website e-commerce terkemuka seperti tokopedia, bukalapak, shopee, dll. Saya percaya, website e-commerce ini juga memerangi toko-toko yang menjual produk illegal, tapi tanpa keterlibatan pemerintah, tidak mudah bagi mereka memerangi produk buku bajakan.

Bapak Calon Presiden,

Kurang lebih demikian konsen yang hendak saya sampaikan. Di tengah hingar-bingar kontestasi pemilihan presiden, di tengah ramainya narasi, program kerja, kampanye dan sebagainya yang disampaikan oleh tim Bapak, semoga masih ada ruang untuk memikirkan tentang literasi bangsa kita. Agar anak-anak kita tidak hanya ‘bisa membaca’, tapi mereka bisa memahami komprehensif tulisan yang mereka baca, bahkan bisa mengubahnya lagi menjadi sesuatu yang lebih bertenaga, penuh inspirasi dan kebermanfaatan.

Saya sungguh percaya, tiang kokoh peradaban adalah literasi. Kita mewariskan pengetahuan, nilai-nilai luhur, teknologi, apapun itu melalui literasi. Sesuatu yang kita ‘tuliskan’, kemudian dibaca oleh anak cucu kita kelak.

Bandung, 3 Januari 2019
Tere Liye

Tuesday, January 1, 2019

Kenapa Air Laut Asin?

                                               Sumber Gambar https://id.kisspng.com


Adik-adik kalau liburan biasanya pergi kemana? Pasti ada yang jalan-jalan ke kebun binatang, ke pantai,  atau ke rumah nenek di desa.  Nah, kali ini kakak ingin bercerita ketika kita pergi ke pantai dan tidak sengaja meminum sedikit air laut lidah kita merasakan asin. Kenapa ya air laut itu rasanya asin? mau tau tidak.! Nah, ini jawabannya?
            “Ketika adik-adik mencoba merasakan air laut rasanya kok beda dengan air yang ada di sumur. Asin sekali, kenapa ya? Nah begini jawabannya:”
            “Air yang jatuh saat hujan akan meresap di dalam tanah. Kemudian, air bercampur dengan garam mineral. Tidak lama kemudian, air yang telah meresap ini sedikit demi sedikit akan keluar dari tanah.  Air yang keluar dari tanah tersebut akan mengalir menuju sungai.
            Kemudian, setelah air sampai di sungai, air mengalir ke laut. Setelah air sampai di laut, air akan menguap. Namun, dalam proses penguapan tersebut, laut hanya melepaskan H2O saja.  Lalu, Apakah  garam mineral yang berada di dalam air ikut menguap?  Tidak ikut menguap. Dampaknya air laut terasa asin.
            Tau tidak manfaat air laut! Air laut yang asin itu di manfaatkan oleh para petani garam yang hidupnya di sekitar pantai  untuk membuat garam. “
            Begitulah adik-adik penjelasan kakak tentang air laut yang asin rasanya. Ternyata air laut juga berguna untuk kehidupan kita. Oleh karena itu, mari kita jaga air laut dari segala polusi.

Tuesday, February 27, 2018

Novel Terdahsyat Afifah Afra


Cinta Suci Adinda dan Tahun Kebangkitan Novel Indiva

Keberadaan Penerbit Indiva sebenarnya tidak bisa dilepaskan dengan novel. Di awal berdirinya, Indiva telah menggebrak dunia perbukuan dengan berbagai novel yang khas, seperti De Winst (Afifah Afra), Livor Mortis (Deasylawati P), Rose (Sinta Yudisia) dan Jasmine (Riawani Elyta). Namun, beberapa tahun terakhir ini, Indiva mulai agak jarang menerbitkan novel. Ternyata, hal ini cukup dikeluhkan oleh pembaca. Beberapa pembaca setia Indiva mengaku rindu dengan hadirnya novel-novel inspiratif Indiva.
“Kok Indiva jarang cetak novel baru, novelnya masih itu-itu saja,” keluh mereka.
Menanggapi keluhan tersebut, CEO Penerbit Indiva, Afifah Afra, kemudian merespon dengan menjadikan tahun 2018 sebagai “Tahun Kebangkitan Novel Indiva.”
Di awal tahun, dua novel baru pun terbit, yaitu Cinta Suci Adinda (Afifah Afra) dan Sabda Luka (Gegge Mappangewa. Saat ini, di dapur Indiva sedang digodok novel-novel lainnya. Pada artikel ini, akan dibahas tentang novel Cinta Suci Adinda.
Novel bercover pink ini mungkin berbeda dengan novel-novel Afifah Afra pada umumnya yang cenderung serius. Ya, novel ini lumayan easy reading. Namun, tentunya, sebagaimana novel Indiva dan Afifah Afra pada umumnya, novel ini tetap inspiratif dan sarat hikmah.
Sebenarnya, novel ini pernah terbit sekitar 12 tahun yang lalu. Edisi Indonesia berjudul Cinta Adinda, dan edisi Malaysia berjudul Kasih Adinda. Namun, karena sudah tidak beredar di pasaran, Afifah Afra pun mengajak Indiva untuk bekerja sama merepublish novel ini. Tentu novel edisi baru sangat berbeda dengan novel edisi lama. Afifah Afra merasa butuh  memperbaiki novel ini sehingga lebih sesuai dengan ‘zaman now’, logika cerita lebih rapi, konflik lebih tertata. Jadilah novel ini menjadi “menggemuk” sampai setebal 368 halaman.
Cinta Suci Adinda bertutur tentang Adinda, perawat sederhana yang bekerja di sebuah Rumah Sakit Jiwa. Di RSJ tersebut juga terdapat seorang dokter spesialis kejiwaan yang tampan, terkenal dan sangat cerdas, yakni dr. Irhamuddin Prasetyo, Sp.Kj. Seorang lelaki dengan tipe “the most wanted.” Sebenarnya, Dokter Irham sudah memiliki calon istri yang selevel dengannya, seorang doktor hukum lulusan Perancis. Namun, hubungan mereka berantakan karena perbedaan prinsip. Sebelumnya, Irham pun pernah memadu kasih dengan seorang dokter cantik, namun juga berantakan karena si dokter itu memilih menikah dengan seniornya yang jauh lebih mapan.
Karena itulah, hingga usia 30-an, Dokter Irham tetap membujang?
Adinda sendiri berasal dari keluarga miskin. Dia pernah menjadi pembantu di keluarga Brata Kusuma yang kaya raya dan sangat terpandang. Karena kebaikan Brata Kusuma, Adinda pun disekolahkan hingga berhasil menjadi perawat. Ya, perawat, bukan dokter, padahal Adinda adalah bintang kelas, dan sang majikan sanggup membiayai untuk sekolah semahal apapun.
Ketika Brata Kusuma terpuruk dan didiagnosis skizofrenia (gila), Adinda berusaha keras mengobati sakit sang majikan, justru ketika keluarga besar Brata justru membiarkannya. Sayang, usaha Adinda justru dianggap melanggar etika oleh keluarga Brata. Adinda pun diusir dari rumah tersebut. Brata sendiri dikurung dalam sebuah vila mewah di pegunungan.
Diam-diam, Adinda berusaha terus mengajak Brata berobat. Dia bahkan berani mengeluarkan biaya besar untuk membayar jasa dr. Irhamuddin.
Awalnya hanya interaksi antara dokter dengan perawat di RSJ, kemudian berubah menjadi dokter yang diminta mengobati majikan Adinda, Irham melihat banyak kejanggalan dari kedekatan gadis itu dengan Brata Kusuma. Benarkah kedekatan itu hanya sekadar balas budi Adinda kepada lelaki tua itu? Dan, mengapa keluarga Brata bersikeras melawan usaha Adinda menyembuhkan ayah mereka?
OIKOS
Selain Cinta Suci Adinda, di novel ini juga terdapat bonus novelet berjudul OIKOS. Novelet ini terilhami dari oikos nomos (ekonomi) dan oikos logos (ekologi). Konflik kedua bidang ilmu ini sudah sedemikian kuat. Peristiwa kebakaran hutan yang terus menerus, menjadi alasan saya mengangkat kisah ini.
Tersebutlah dua sosok manusia bernama Oikos. Satu pria mapan, ekonom dan pebisnis andal. Satu perempuan, cerdas dan idealis, ekolog, aktivis lingkungan. Saat masih remaja, keduanya pernah jatuh cinta, tetapi memutuskan berpisah karena ekonomi dan ekologi sering menjelma bak bumi dan langit.
Mereka bertemu kembali ketika perusahaan Oikos sang ekonom membakar hutan di Sumatera, membuat bencana asap super hebat. Oikos sang ekolog bersuara keras melawan si pembakar hutan. Dalam keadaan berlawanan, bibit-bibit cinta justru kembali tumbuh. Lantas, apa yang terjadi dengan mereka?
Di tengah membanjirnya pasar novel dengan bacaan yang kurang bisa dipertanggungjawabkan, kehadiran novel islami penuh hikmah seperti Cinta Suci Adinda layak kita apresiasi.
Data Buku
Judul: Cinta Suci Adinda
Penulis: Afifah Afra
Tebal: 368 hlm
Ukuran: 13 x 19 cm
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Harga: Rp 75.000
SINOPSIS:
Adinda ditangkap polisi? Siapa yang bisa percaya kabar itu? Adinda perawat lugu dan berhati selembut sutera. Tak mungkin dia terlibat dalam kriminalitas. Apalagi, tuduhan yang dilayangkan padanya sungguh tak masuk akal: menculik Brata Kusuma, sang penderita skizofrenia yang tak lain adalah mantan majikannya.
Pria itu bagai mutiara bagi Adinda, selalu dirawat dan dijaga. Irham, dokter jiwa ternama itu menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa besar pengorbanan Adinda untuk Brata Kusuma. Rasanya mustahil dia menjadi aktor di balik penculikan Brata Kusuma.
Irham memang tak percaya gadis selugu Adinda terlibat kasus pelanggaran hukum, namun di saat bersamaan, Irham mendapati hubungan yang janggal antara Adinda dan Brata Kusuma. Ya, sebuah interaksi aneh. Tak lagi sekadar hubungan pasien dan perawatnya.
Dokter Irhamudin Prasetya semakin terbebat ketidakmengertian. Bukan sekadar karena kelit kelindan kehidupan yang kian sulit dicerna, namun juga dirinya yang akhirnya menyadari, bahwa daya tarik Adinda telah membuatnya pria terhormat seperti dirinya, justru jatuh pada gadis sederhana yang jauh dari standar idealnya.
Cinta Suci Adinda merupakan novel yang bertutur tentang loyalitas, totalitas dan kesederhanaan yang menawan dari seorang perawat bernama Adinda.
Selain Cinta Suci Adinda, sebuah novelet cantik berjudul “Oikos” pun dipersembahkan Afifah Afra dalam buku ini. Sebuan novelet dengan latar belakang peristiwa kebakaran hutan di Sumatera beberapa waktu silam.

Selamat membaca!

Tuesday, February 6, 2018

OPINI

Mendidik  Anak di Era Kids Jaman Now
Agus Yulianto

Setiap generasi memiliki dunianya sendiri. Beragam bentuk hiburan yang menarik hati anak-anak hadir menyeruak ke tengah-tengah kehidupan mereka dengan mudahnya. Memang tidak mudah untuk mengisolasi anak-anak kita dari tontonan semacam itu. Memang seperti inilah salah satu konsekuensi hidup di era pasar bebas dan globalisasi. Kita disuguhi beragam produk-produk menarik yang spektakuler, baik dari dalam maupun luar negeri, ditambah lagi dengan kecanggihan teknologi informasi yang semakin maju dan berkembang pesat. Membuat hal-hal tersebut mudah untuk diakses dan didapatkan.  
            Di sinilah muncul tantangan pada kita sebagai orang yang peduli akan masa depan anak-anak. Oleh karenanya, kita harus memberdayakan diri untuk menghadapi tantangan di era digital yang memang semakin kompleks. Jangan sampai sebagai orang tua dan pendidik lebih suka menyalahkan anaknya dan orang lain daripada melihat ke dalam diri sendiri?
            Memprihatinkan bukan? Sebagai orang tua dan orang dewasa kita harus mewaspadai keberadaan media. Baik buruknya media pada akhirnya kembali pada kita sebagai orang tua dan orang dewasa. Menurut Masruri (2015), berdasarkan laporan konferensi pers Gerakan Nasional Hari Tanpa Televisi tahun 2008 lalu, Anak dan remaja merupakan khalayak khusus yang rentan terhadap pengaruh media. Jangan heran kalau saat ini anak-anak kita mengalami tumbuh kembang yang begitu cepat. Sehingga generasi saat ini mendapatkan label generasai kids zaman now, yakni mengalami perkembangan begitu cepat yang tidak sesuai dengan kapasitas usia mereka. Melihat kenyataan tersebut, kita tentu dihadapkan pada tantangan berat. Saat ini, mau tidak mau, kita dituntut untuk mengikuti perkembangan zaman yang sesuai dengan dunia mereka. Kita tentunya masih ingat dengan perkataan Sahabat Rosulullah saw, Ali bi Abi Thalib, “Wahai kaum muslim. Didiklah anak-anakmu sesuai zamannya karena mereka hidup bukan di zamanmu.
            Generasi kids zaman now merupakan generasi dimana anak-anak  meniru apa yang dilihatnya, baik dalam keseharian maupun di media massa. Medialah yang akhirnya membentuk sebagian kepriadian generasi saat ini. Misal, sebuah tayangan ditelevisi menyajikan adegan-adegan visual dalam program acara, maka dari situlah pada mulanya anak-anak melakukan proses peniruan. Jangan kaget ketika melihat anak-anak sekarang secara penampilan layaknya seperti orang dewasa. Ibarat sebuah bumbu  dalam  masakan yakni ‘micin’. Banyak dijumpai makanan yang mengandung banyak micin menyebabkan kualitas anak zaman sekarang tidak seperti anak-anak zaman dulu.    
            Lantas bagaimana seharusnya peran kita dalam mendidik generasi yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan kids zaman now?
            Generasi kids zaman now bukanlah generasi yang suka mendengar ceramah yang berisi nasehat-nasehat. Mereka merupakan generasi yang memiliki sebuah rasa percaya diri tinggi sehingga di dalam dirinya merasa memiliki kemampuan untuk menyelesaikan segala persoalan. Peran kita dalam mendidik generasi kids zaman now antara lain; (1) Ciptakan suasana demokratis;  bersikap otoriter, menganggap diri kita sebagai yang paling tahu dan berpengalaman sehingga mereka tak diperkenankan membantah semua pernyataan, ini adalah sesuatu yang keliru. Jika mereka harus selalu menurut apa pun yang kita katakan, dikhawatirkan tindakan ini bisa menghambat kemandirian dalam diri mereka. Apalagi jika mereka melakukan kesalahan, lantas kita bentak dan kita pukul. Tentu saja tindakan tersebut sangat tidak tepat dan akan merusak mental mereka. Ketika ada suatu permasalahan kita harus bisa menjelaskan sesuai kerangka berfikir mereka ‘apa dan mengapa’ sebabnya. Dengan begitu kita secara tidak langsung telah menumbuhkan sikap demokratis. Agar suasana dialog tercipta  kondusif, maka cobalah bersikap lebih bersahabat dengan mereka. Sikap bersahabat memiliki peran yang sangat besar dalam memengaruhi jiwa anak. (2) Menjadi teladan; keteladanan merupakan salah satu metode yang bagus dalam mendidik anak-anak baik di lingkungan keluarga maupun sekolah. Mereka akan meniru perilaku orang dewasa yang berada didekatnya. Oleh karena itu, keteladanan merupakan media yang paling efektif bagi anak-anak menuju keberhasilannya. Kita harus dapat menjadi figur yang ideal bagi anak-anak, menjadi panutan yang bisa mereka andalkan dalam mengarungi kehidupan ini. Kondisi saat ini anak-anak kehilangan sebuah figur untuk di contoh. Al hasil, mereka mencontoh tokoh-tokoh dalam sebuah film yang sebenanrnya tidak sesuai dengan umur mereka. (3) Beri Pengakuan dan Penghargaan; jangan pernah malu untuk memberikan sebuah pengakuan dan penghargaan yang tulus kepada anak-anak atas tugas-tugas sederhana yang telah mereka kerjakan. Jangan sekali-kali meremehkan hasil kerjaan mereka. Penghargaan awal ini akan memberikan semangat baru dalam kehidupan mereka untuk melakukan tugas-tugas selanjutnya yang lebih besar. (4) Menyamakan Visi; dua kepala sekalipun sedarah sering memiliki isi yang berbeda.  Generasi old  (generasi tua) cenderung menginginkan sesuatu yang nyaman, sebaliknya dengan generasi now (generasi masa kini) zona nyaman sering dianggap bakal membuat hidup berjalan di tempat, kalau tidak malah tertinggal zaman (kuper). Jalan menuju kemajuan menurut generasi zaman now hanya bisa didapat lewat perubahan. Dua visi dari generasi yang berbeda tak mungkin bisa diajak jalan beriringan. Oleh karena itu, menyamakan visi dua generasi sangatlah penting sebelum memulai sebuah pembenahan.
            Anak-anak zaman sekarang mengalami tantangan. Mereka menghadapi longsornya wibawa dan runtuhnya norma-norma sosial dalam pergaulan yang membingungkan. Orang tua mengalami tantangan mendidik anak ditengah kecanduan gadget yang meracuni. Pada zaman digital, anak-anak muda disebut generasi alay----anak layangan atau generasi galau alisa anak baru labil. Mereka tehubung dengan dunia maya secara on line dan  real time. Mereka berteman, bergaul dan membentuk komunitas. Mereka paham betul teknologi informasi berikut para selebritasnya. Itulah generasi kids zaman now.

            Oleh karena itu, kita bisa mengambil kesimpulan manusia sesungguhnya memiliki kelemahan, potensi, kecerdasan dan watak yang ketika dibiasakan dengan akhlak yang luhur, disiram dengan pengetahuan, dan ditopang dengan amal shalih, maka ia akan tumbuh dalam kebaikan. Namun, jika dibiarkan kebiasaan tercela pasti akan tumbuh dalam kejelekan  dan kerusakan. Begitulah.
 

Cerpen

Titip Rindu untuk Ayah
Agus Yulianto
Pernah dimuat di Majalah Hadila

                                               Gambar https://pixabay.com/id/photos/

            Lima bulan yang lalu ayahku meninggalkan ibu. Tentu saja ibu sangat kecewa dengan sikap ayah yang semena-mena tanpa ada alasan yang jelas. Aku melewati hari-hari bersama ibu. Kami hidup serba pas-pasan. Ibu tidak menginjinkan aku untuk bekerja.  Aku sebagai anak merasa berdosa, tetapi apa yang bisa aku lakukan karena kondisi diriku yang tidak memungkinkan. Tuhan telah menguji diiriku dengan sebuah penyakit.
Awal cerita dari penyakitku:
            Penyakit ini berawal ketika aku berusia 5 tahun. Selayaknya anak seusia balita yang gemar berlari-larian dan melakukan hal-hal unik. Tidak aku sangka ternyata kebiasaan waktu kecil itu dapat membahayakan diriku. Saat itu, aku bersama teman-teman bermain jungkir-balik di halaman rumah tiba-tiba saja aku terjatuh. Kejadian itu sangat fatal mengganggu kecerianku. Akibatnya, kepalaku lemah ke kanan dan tak kuasa ditegakkan seperti semula. Kepala itu rebah ke bahu sebelah kanan atau orang padang menyebutnya dengan Teleng.  Tentulah hati ayah dan ibu miris melihat kondisiku. Berbagai pengobatan diupayakan, mulai dari medis hingga pengobatan tradisional sampai ke tukang urut. Tapi tak ada satu pun yang mempan membuat fisikku kembali normal.
            “Ibu, Kenapa  kepalaku ini? Kok tidak bisa digerakkan."  Saat itu Ibu hanya bisa menangis. Dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan kepadaku.
Ibu hanya bilang, “Kepalamu tidak apa-apa, Nak. Insyaallah, akan cepat sembuh asal  rajin minum obat dan istirahat yang cukup” jelas Ibu sambil menghibur diriku. Aku hanya bisa tersenyum karena aku belum bisa merasakan sakit yang aku derita. Maklum usiku dulu baru 6 tahun.
***
            Hari-hari aku lalui dengan perbedaan yang teramat mencolok dari anak-anak pada umumnya. Kesedihan terus bergelayut di batin kedua orang tuaku, terutama  ayah yang tak bisa membayangkan bagaimana kelak ketika aku dewasa.
            “Ayah, aku ingin bermain bersama teman-teman” pintaku.
            “ Jangan  bermain dulu!” tegas ayah.
            “Memangnya kenapa” aku pun menangis sejadi-jadinya.
Ayah bukannya mendiamkanku, tetapi dia berlalu begitu saja dari kamarku. Ketika melihat sikap ayah, Ibu tidak terima. Akhirnya, pertengkaran pun terjadi kembali. Hari-hari ku bagaikan dalam sebuah penjara. Hidup terkurung tidak sebebas yang dulu.  Aku hanya menonton sebuah adegan yang seharusnya tidak pantas aku tonton. Pertengkaran antara Ayah dan Ibu.
Semenjak itu  hari-hariku menjadi kelabu. Dunia ini seakan begitu sempit.  Aku hanya bisa menangis. Apa yang bisa aku lakukan dengan kondisi seperti ini. Apa selamanya aku akan menjadi benalu buat mereka? Akibat kecerobohan yang aku perbuat sendiri. Hingga akhirnya, ayah memilih untuk berpisah dengan ibu meskipun tak ada alasan yang jelas. Aku sempat berfikir, Apa karena diriku.  Aku hanya seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa tentang perpisahan ayah dan ibu. Saat itu aku hanya tahu ayah pergi ke luar kota untuk bekerja. Pamitnya padaku. Ayah sempat memberikan sebuah sajadah biru, dia hanya berpesan jika rindu pada ayah sujudlah dengan sajadah biru ini.
***
Kini  usiaku sudah  23 tahun, aku masih sama seperti yang dulu. Tidak ada yang bisa aku lakukan. Aku hanya menangis meratap kepada sang Pencipta. Hari-hari yang selalu di hiasi dengan air mata. Seakan hidup ini begitu membosankan.
 Pernah suatu ketika aku ingin mengakhiri semua perjalanan hidup ini, namun semua itu digagalkan oleh ibuku.
“Sadar, Nak!” gertak ibu padaku.
“Ingat sama yang Kuasa, kuatkan hatimu Nak.” ibu pun menangis sejadi-jadinya sambil memeluk diriku.
“Aku hanya anak sampah tidak berguna. Buat apa aku melanjutkan hidup ini. Kalau Tuhan saja tidak peduli padaku” aku sudah mulai putus asa.
“Kamu bicara apa” aku dipeluk begitu erat. Air mata kami mengalir begitu deras. Aku merasakan begitu hangatnya kasih sayang ibu.
Maafkan aku Ibu. Ucapku dalam hati. Ibu tidak henti-hentinya memintaku untuk mengucapkan istigfar. Bibir ini masih kelu, tetapi aku mencoba untuk mengucapkan kalimat yang maha dahsyat itu agar hatiku tidak mati.
           
***
Kini, orang tuaku adalah ibu. Aku tidak ingin membuat ibu terlalu mengkhawatirkanku. Bagiku ibu juga merupakan seorang ayah yang mengajarkan banyak hal padaku. Makna hidup dan sebuah cinta. Sedangkan ayah sosok yang sudah hilang dari ingatanku. Meskipun aku masih tetap saja merindukannya.
            “Maafkan aku bu karena sudah mengharuskan ibu turut dalam kehidupanku seperti ini.”
            “Tidak Nak, Ibu tidak merasakan hal itu. Yang terpenting bagi ibu adalah kebahagiaanmu dalam menjalani kehidupan ini.”
            “Ibu, Ayah sekarang tinggal dimana” aku memberanikan diri untuk bertanya pada Ibu. Mungkin ibu tahu tentang keberadaan ayah.
            “Kenapa kau masih mencari orang yang tidak sayang padamu?,”
            “Sebenarnya ayah masih sayang kepadaku. Aku masih bisa merasakan hal itu. Sebelum dia pergi meninggalkan kita, sempat mata ayah menatap ke arahku. Matanya terpancarkan cahaya kasih sayang. Aku yakin ayah masih sayang  meskipun kondisiku seperti ini.”
            “Sudahlah, biarkan dia hidup bersama keluarganya yang baru” ketika ibu mengatakan hal itu jujur saja aku kaget. Mata ini mulai sembab kembali. Ibu pun melayangkan sebuah surat yang sudah lama dia sembunyikan dariku. Dalam surat itu Ayah memutuskan untuk berpisah dengan ibu. Ayah juga mengirimkan sebuah foto bersama keluarganya yang baru. Aku sebagai anaknya sangat terpukul. Kenapa ibu menyembunyikan ini semua dariku?
            Aku perhatikan wajah ibu yang mulai layu kembali. Aku masih menyimpan sebuah pertanyaan yang sampai saat ini belum aku temukan jawabannya. Kenapa ayah meninggalkan Ibu? Sepertinya, ada yang ibu rahasiakan dariku.
            “Ibu, dalam setiap doa aku selalu bertanya pada yang Kuasa.”
            “Apa yang kau tanyakan?”
            “Sebuah perpisahan antara ayah dan ibu.” 
Ibu hanya diam mematung diri.
            “Ada sebuah rahasia yang selama ini ibu sembunyikan dariku.”
            Ibu hanya diam. Bagaikan patung yang mulai rapuh. Aku genggam tangan ibu yang sudah mulai layu tak bertenaga. Ibu pun memelukku seketika. Aku merasakan betul pelukan hangat tanda cintanya padaku. Sebuah pertanda tidak ingin pisah denganku.
            “Tidak ada sebab perpisahan antara ibu dengan ayah.” hanya itu jawaban ibu. Ibu pun melepaskan pelukannya berlalu meninggalkanku sendiri di dalam kamar ini.
***
            Sang surya mulai bersinar dalam kehidupanku. Seolah-olah teriknya tidak membawa pengaruh bagiku dalam menjalani kehidupan ini. Hari-hari yang aku lalui semakin mendewasakanku dalam setiap perjalanan waktu. Karena itulah aku ingin menjadi anak yang baik dalam segala hal. Membahagiakan orang yang aku cintai satu-satunya dalam hidupku;Ibu.
Terukir harapan dan doa agar aku dapat ikhlas menjalani semua pribadiku. Ku baca sebuah buku catatan usang yang ayah tinggalkan dulu. Buku itu tersimpan rapi di rak buku ku. Arus waktu membawaku dalam masa kecilku dulu.  Setiap malam menjelang aku  tidur, ayah sering bercerita tentang Kisah Pangeran dan Putri Salju. Di sela-sela ayah bercerita, dia  menulis di buku catatannya yang selalu di simpan dalam rak buku di kamarku. Saat itu aku tidak tahu apa yang ayah tulis. Aku hanya berfikir mungkin itu bagian dari pekerjaan ayah.
Aku buka buku catatan itu, di halaman depan ada sebuah fotoku bersama ayah dan ibu. Ku buka halaman kedua ada sebuah tulisan Aku sangat menyayangi kalian semuanya. Aku buka halaman ketiga tertulis nama Ibu “ Aini” dengan huruf kapital di bawah tulisan nama itu ada sebuah kalimat  cinta tak selamanya memiliki. Aku anggap ini hal biasa. Ku buka halaman berikutnya sampai aku menemuka sebuah kalimat di halaman terakhir dalam catatan itu, ketika tidak ada cinta dalam membangun mahligai rumah tangga. Aku tidak yakin untuk mempertahankan semua ini. Aku sampai detik ini masih tetap mencintainya. Maafkan aku tidak bisa melupakannya
Ku tutup buku itu dan ku tutup dengan doa.  Kini, aku telah menemukan sebuah jawaban.  Meskipun hanya satu pernyataan namun dapat menjelaskan semua kenyataan.
           
           



CERNAK

Pelangi di Kemuning
oleh: Agus Yulianto
Cernak ini pernah dimuat di koran Solopos, edisi 17 Desember 2017


https://pixabay.com/id/photos/gunung%20pelangi/

Sore itu hujan sudah reda. Raka, Ari dan Asep bermain di lapangan dekat rumah mereka. Suasana sore ini begitu menyejukkan setelah diguyur hujan sejak siang tadi. Mereka bertiga asyik bermain kejar-kejaran. Tiba-tiba langkah mereka terhenti ketika melihat  keindahan yang ada di langit. Sore ini langit berwarna merah saga di hiasi lukisan pelangi.
            “Pelanginya indah sekali,” Raka begitu kagum melihat pelangi yang berwarna warni.
            “Iya, sangat indah,” begitu pula dengan Asep.
            “Coba perhatikan ada berapa warna pelangi itu,” tanya Raka kepada kedua temannya.
            “Ada merah, jingga, kuning, hijau dan biru,” jawab Ari seketika.
            Asep pun begitu asyik menikmati keindahan pelangi.
            “Kalian tahu tidak bagaimana terjadinya pelangi?”, tanya Ari dengan penuh rasa penasaran tentang terjadinya pelangi.
            “Aku tidak tahu,” Asep pun tersadar dari lamunannya menikmati keindahan pelangi.
            “Oya, besuk itu kan ada pelajaran IPA. Mungkin bisa kita tanyakan ke Pak Rudi,” jelas Raka kepada Ari.
            “Baik, coba besuk kita tanyakan ke Pak Rudi,” jawab Ari.
Mereka pun meninggalkan keindahan pelangi itu.  Mereka  melanjutkan kembali bermain di tanah lapang yang masih kelihatan becek, setelah seharian hujan mengguyur desa Kemuning.

*** 

            Nuansa pagi di desa Kemuning begitu sejuk. Kabut masih menutupi sinar sang mentari. Daun-daun masih bermandikan embun pagi. Warga desa Kemuning beraktivitas seperti biasanya. Ibu-ibu menyapu halaman rumah sedangkan Bapak-bapak persiapan pergi ke ladang. Anak-anak bersiap-siap ke sekolah. Tidak lain halnya dengan Raka, Ari dan Asep.
Mereka rumahnya bersebalahan. Setiap mau berangkat ke sekolah, mereka saling menghampiri satu sama lain. Jarak sekolah dengan rumah mereka tidak begitu jauh. Sekolahnya  terletak di belakang balai desa Kemuning. Mereka setiap pergi ke sekolah berjalan kaki, begitu juga dengan anak-anak yang lainnya. Desa Kemuning masih kelihatan asri. Nuansa pedesaan masih begitu kental. Meskipun desa mereka sudah menjadi tempat wisata yang banyak di kunjungi oleh turis domestik maupun luar negeri. Warganya masih mempertahankan ke asrian dan budaya tradisional di desanya. Karena itu merupakan salah satu daya pikat wisatawan.
Mereka bertiga sudah tiba di sekolah tepat pukul tujuh. Bel masuk berbunyi, anak-anak berbaris rapi  berdiri di depan pintu kelas untuk menyambut guru-guru yang akan mengajar. SD Kemuning selalu membiasakan murid-muridnya untuk disiplin dan tertib. Usai memberikan salam para murid di persilahkan masuk satu per satu dengan tertib dan rapi. Begitu juga dengan Raka, Ari dan Asep. Mereka kelihatan begitu rapi dan tertib.
Jam pertama merupakan jadwal belajar ilmu pengetahuan Alam bersama Pak Rudi. Ruang kelas lima begitu tenang. Anak-anak sudah mempersiapkan diri untuk mengikuti pelajaran IPA. Pak Rudi memberikan materi tentang peristiwa alam. Anak-anak begitu antusias mendengarkan penjelasan dari Pak Rudi. Peristiwa alam yang sedang dibahas adalah tentang fenomena hujan.
Pak Rudi meminta kepada anak-anak selalu menjaga kesehatannya di musim penghujan ini. Selain itu juga diminta menjaga kebersihan lingkungan di rumah mereka masing-masing. Usai menjelaskan materi Pak Rudi mempersilahkan murid-muridnya untuk bertanya kalau belum jelas dengan apa yang disampaikannya.
Raka pun tidak mau ketinggalan untuk mengajukan pertanyaan.
“Pak Rudi, Saya mau bertanya kenapa setiap habis hujan tiba-tiba muncul pelangi?”, tanya Raka.
Pak Rudi pun senang sekali ketika ada murid yang bertanya.
“Pertanyaan yang bagus sekali Raka. Begini Raka, pelangi itu merupakan peristiwa alam. Itulah anugerah dari Tuhan Yang Maha Agung. Dengan kehebatanNya segala sesuatu bisa terjadi kapan pun dan dimana pun.”
Semua anak-anak mendengarkan penjelasan Pak Rudi. Ada yang sambil menulis ada juga yang hanya cukup dengan mendengarkan.
“Pelangi itu terbentuk karena pembiasan sinar matahari oleh tetesan air yang ada di atmosfer. Tentunya kalian sudah paham apa itu atmosfer. Dulu saya pernah menjelaskan pada bab Tata Surya. Ketika sinar matahari melalui tetesan air, cahaya tersebut dibengkokkan sedemikian rupa sehingga membuat warna-warna yang ada pada cahaya tersebut terpisah,” Pak Rudi memberikan jeda sebentar, kalau mungkin ada pertanyaan dari murid-muridnya.
“Sebelum dilanjutkan, apa ada yang belum jelas,” tanya Pak Rudi.
Semua murid sudah paham mendengar penjelasan. Pak Rudi melanjutkan tentang proses terjadinya pelangi.
“Setelah itu setiap warna dibelokkan pada sudut yang berbeda,  dan warna merah adalah warna yang paling akhir dibengkokkan. Sedangkan ungu adalah warna yang paling utama. Peristiwa inilah yang dinamakan pelangi.”
“Bagaimana Raka? Apa sudah paham!,”
“Iya Pak, saya sudah paham,” jawab Raka.
“kalau yang lainnya bagaimana? Apa masih ada pertanyaan!,” tanya Pak Rudi kepada semuan murid-murid kelas lima.
“Pak, apa pelangi itu selalu muncul setiap habis hujan?”,  tanya Ari.
“Pelangi tidak selalu muncul setiap habis hujan. Belum tentu juga kalau habis hujan muncul pelangi. Itulah yang dinamakan fenomena alam. Munculnya bisa kapan saja.” Jelas Pak Rudi.
Ari pun mengangguk pertanda paham dengan apa yang dijelaskan oleh Pak Rudi. Suasana ruang kelas lima mulai rame usai pelajaran IPA. Bel tanda istirahat berbunyi. Pak Rudi menutup pelajaran IPA dan mempersilahkan anak-anak untuk beristirahat.

Anak-anak sangat senang sekali mengikuti pelajaran ini. Sebab mereka paham dengan fenomena alam yang sering dilihat. Begitu juga Raka, Ari dan Asep pertanyaan yang mereka simpan sore lalu akhirnya terjawab.


















           


Thursday, May 11, 2017

esai

Membaca Indonesia
(Rendahnya Budaya Membaca)
Oleh: Agus Yulianto
Pengajar dan Aktivis Literasi

Indeks membaca masyarakat Indonesia menurut UNESCO sungguh sangat miris sekali. Minat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dalam setiap masyarakat hanya ada satu masyarakat yang gemar membaca. Perlu kita ketahui, budaya membaca masyarakat Indonesia sangat tertinggal jauh sekali dengan Negara lain. Dari 61 negara, Indonesia menempati urutan ke 60.  Kebiasaan masyarakat Indonesia dalam membaca dan menulis sangat rendah sekali. Di kawasan Asia Tenggara (ASEAN), Indonesia menempati peringkat ketiga paling bawah dibandingkan dengan Negara Laos dan Kamboja.  Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Perlu kita ketahui, untuk ukuran Negara maju rata-rata indeks membaca berkisar antara 0,45 sampai 0,62. Kondisi ini tentunya menempatkan Indonesia pada posisi 124 sampai 187 negara dalam penilaian Indeks  Pembangunan Manusia (IPM).
Lebih gemar sosmed
            Rendahnya minat membaca masyarakat Indonesia ini menyebabkan kualitas dan mutu pendidikan di Indonesia menurun.  Menurut hasil beberapa penelitian factor yang menyebabkan rendahnya budaya membaca yakni masyarakat Indonesia gemar bermedia social. Seperti berselancar di dunia maya; facebook, twetter, line, whatshaap, BBM, dan sejenis medsos lainnya. Selain itu, juga hobi menonton televise daripada membaca buku.
            Jika kondisi ini masih terus berlangsung dan tidak kita antisipasi sejak dini. Hal ini mengkhawatirkan akan mempengaruhi kualitas dan mutu sumber daya manusia di Negara kita. Lalu, apa yang harus kita lakukan?
            Kegiatan membaca  kalau tidak dimulai dari diri sendiri (kesadaran) sungguh mustahil sekali untuk menjadikannya sebagai rutinitas kita sehari-hari. Hal ini perlu yang namanya membiasakan diri untuk membaca sebuah buku walau hanya 5-10 menit setiap hari atau 1-2 lembar setiap harinya. Kalau kita berkomitmen dengan diri sendiri untuk meluangkan waktu membaca buku akan menjadi kebiasaan kita sehari-hari.
            Selain itu, pemerintah harus pro aktif menyadarkan masyarakat akan pentingnya membaca sebuah buku. Keseriusan pemerintah dalam mengajak masyarakat mutlak dibutuhkan. Sebab, kondisi yang sudah mengakar dan membudaya rendahnya minat baca ini harus segera diperbaiki.  Dengan menyediakan sarana dan prasarana dan memperbanyak taman baca masyarakat (TBM) di daerah bisa jadi merupakan salah satu langkah untuk menumbuhkan minat membaca masyarakat.
            Pemerintah juga harus mendorong peningkatan jumlah produksi buku yang bermutu dan berkualitas. Saat ini jumlah produksi buku di Indonesia terbilang sangat rendah. Setiap tahun hanya 7.000-8.000 judul buku yang diterbitkan. Tentunya saja ini sangat jauh sekali dengan Negara tetangga Malasyia yang setiap tahunnya bisa menerbitkan hingga 10.000 buku. Angka itu akan semakin memprihatinkan bila dibandingkan dengan Negara Jepang yang setiap tahunnya dapat menerbitkan 44.000 judul buku, Inggris 61.000 judul buku, dan Amerika Serikat 100.000 judul buku setiap tahunnya. Artinya, jumlah satu buku dibaca oleh tujuh orang Indonesia. Jumlah ketersediaan buku bacaan yang ada, belum mampu memenuhi kebutuhan dasar secara umum masyarakat Indonesia untuk gemar membaca. 
Selain itu, perlu kita perhatikan kualitas buku yang diterbitkan. Banyak sekali di masyarakat saat ini beredar buku-buku yang tidak bekualitas. Semisal, beberapa waktu lalu sering terjadi penarikan buku-buku yang berisi tentang suatu aktivitas yang menyimpang (cinta sesama jenis, kekerasan,dll) tentunya saja hal ini melukai dunia perbukuan kita. Oleh karena itu, pemerintah harus turut serta mengawal peredaran buku di masyarakat.  
Bagaimana kita bisa mencerdaskan masyarakat Indonesia bila budaya baca saja rendah? Bagaimana buku bisa tersedia di perpustakaan bila produksi buku masih rendah? Kita pantas mengelus dada menyaksikan fenomena ini. Kondisi ini tentu saja bertolak belakang dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 , yakni ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’.



Tulisan Disukai Pembaca

Mengulas Buku Fiksi Antologi Cerpen Amygdala

  Amygdala Sebuah Proses Kehidupan www.agusyulianto.com   Judul Buku : Antologi Cerpen FLP Jawa Tengah Amygdala Penulis : Rahman Hanifan, ...