Sunday, July 25, 2021

CERMA PERGINYA SEORANG SAHABAT


 

Perginya Seorang Sahabat

Agus Yulianto

 

Sore itu ketika hujan aku dan Anton makan bakso di pinggiran jalan depan sekolah. Bakso Kang Iman memang terkenal enak selain itu juga harga bersahabat. Bakso Idola memang menjadi idola anak-anak SMK Sakti. Ketika jam istirahat kios yang berukuran 4 m x 7 m sesak dipenuhi siswa SMK Sakti. Bahkan ada yang rela duduk di trotoar pinggir jalan demi menikmati semangkuk bakso yang seharga lima ribu rupiah itu. Bakso Idola buka hingga sore hari. Aku dan Anton sudah janjian usai pulang sekolah akan mentraktirnya sebab minggu lalu ia sudah mentraktirku.

Aku dan Anton sudah bersahabat sejak duduk di bangku SMP meski tidak satu kampung. Anton anak dari keluarga yang mapan. Ayahnya pengusaha Pabrik Sepatu sedangkan ibunya memiliki butik. Uang lima ribu rupiah bagi Anton tidak ada apa-apanya. Kadang aku malu ketika jajan selalu ia yang bayar.

Sedangkan diriku hanyalah seorang anak yang dilahirkan dari keluarga serba kekurangan. Aku sudah tidak memiliki ibu dan ayah. Mereka sudah pergi meninggalkanku sejak kecil. Hingga saat ini aku tidak tahu keberadaannya. Aku tinggal bersama paman yang bekerja sebagai buruh serabutan. Pamanku tidak memiliki seorang anak, ia memperlakukanku seperti anaknya sendiri.

            “Setelah lulus nanti kamu mau kuliah?” aku membuka percakapan sore itu.

            “Ayah memintaku untuk melanjutkan kuliah di Jakarta,” jawab Anton sambil mengunyah baksonya.

            Aku hanya bisa membayangkan seandainya memiliki seorang ayah yang begitu peduli pada anaknya. Betapa bahagianya aku.

            “Kalau kamu, Ndi?”

            “Kemungkinan aku akan bekerja di pabrik,” jawabku singkat sambil mata ini menatap sebuah foto keluarga Kang Iman di dinding yang terlihat bahagia. Aku sekali lagi hanya bisa membayangkan. Betapa bahagianya ketika memiliki keluarga yang utuh.

            “Kenapa kamu tidak kuliah? Padahal kamu selalu juara kelas,” tanya Anton sambil menatap mataku.

            Sebenarnya aku tidak perlu menjelaskan alasan untuk tidak kuliah. Sebenarnya kamu paham kondisiku saat ini. Untuk membuat lega hatimu maka akan ku jawab pertanyaanmu yang membuat sesak dadaku ini.

            “Kamu tahu sendiri bagaimana kondisi keluarga pamanku saat ini. Tidak mungkin bagiku untuk melanjutkan kuliah. Aku kasihan melihat pamanku yang bekerja seharian demi menghidupi istrinya dan juga diriku. Kapan lagi aku bisa membalas budi?” suaraku mulai bergetar seakan susah untuk mengungkapkan semuanya.

            Kedua mata ini saling bersitatap. Terlihat jelas ada binar-binar di pancaran mata Anton tentang kepedulian. Suara Kang Iman menganggetkan kami berdua. Warung bakso segera ditutup. Kang Iman dibantu kedua anaknya yang masih kecil membersihkan ruko mungil ini. Ketika aku mau membayar tetiba tangannya Anton terlebih dulu mengulurkan uang dua puluh ribuan. Aku hanya bisa menghembuskan nafas tanda kesalku padanya. Sebab hingga saat ini aku belum bisa mentraktirnya.

            Aku dan Anton segera berlalu dari warung bakso. Terlihat dari seberang jalan seorang lelaki yang terlihat masih muda dan berdasi melambaikan tangan ke arah kami. Ternyata lelaki itu adalah ayahnya Anton. Ia dijemput dengan sebuah mobil. Sekali lagi aku hanya bisa membayangkan. Anton pulang bersama ayahnya sedangkan aku menunggu angkutan yang tak kunjung tiba.

Aku berusaha untuk selalu tersenyum dengan segala kondisi yang ku hadapi saat ini. Karena aku yakin Tuhan tidak akan pernah tidur ketika melihat kondisiku seperti saat ini. Hanya saja aku harus lebih berusaha untuk meraih impianku. Mimpiku saat ini adalah ingin bertemu ayah dan ibu. Baik dalam keadaan hidup maupun mati.  

***

            Pagi sekali aku sudah berada di sekolah karena ada tugas matematika yang belum selesai aku kerjakan tadi malam. Suasana sekolah masih terlihat sepi hanya dua lelaki paruh baya yang sedang asyik menyapu dan mengelap jendela ruang guru. Sapaku penuh senyum pada kedua lelaki itu.

            Aku bergegas menuju ruang kelas XI Akuntansi. Segera aku buka lembaran tugas yang belum terselesaikan.

Terlihat di dinding sebuah jam yang sudah menunjukkan pukul 6.30 pagi.  Mulai terdengar suara-suara siswa SMK Sakti. Di saat aku sedang mengerjakan tiba-tiba suara Arnol mengagetkanku. Wajahnya terlihat pucat seperti orang ketakutan.

            “Andi, Apa kamu sudah dengar kabar Anton?” nada suaranya terbata-bata. Terlihat di sudut matanya ada sebuah genangan air.

            “Maksudmu kabar tentang apa?” jawabku pelan berusaha menenangkannya.

            “A...an..ton,” wajahnya tak berani menatapku. Menunduk sambil kedua tangannya memegang erat tanganku yang sudah mulai berkeringat dingin.

            “Kenapa dengan Anton?” Suaraku mendesak penuh dengan rasa penasaran. Jantungku sudah mulai berdetak tak beraturan.

            “Barusan tadi aku melihat Anton kecelakaan di perempatan jalan mau ke arah sekolah,” Suara Arnol goyah. Aku terdiam sesaat pikiranku melayang tak karuan.

            “Terus kondisi Anton saat ini,” Aku pun terus mendesak Arnol agar menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

            Arnol seketika memelukku erat sambil menangis. Dua cowok menangis di dalam ruang kelas memang bukanlah hal yang biasa. Peduli amat kata orang yang saat itu sedang melihat kami berdua berpelukan sambil menangis. Tetapi teman-teman sekelas yang barusan datang juga ikut menangis. Mereka mendekati kami saling berpelukan dan kata-kata yang meluncur yang disertai isak tangis selalu menyebut nama Anton. Aku makin bingung ada apa dengan Anton.

            Pagi ini yang seharusnya menjadi pagi yang indah bagiku. Tenryata menjadi pagi yang berkabung. Sahabatku Anton telah pergi untuk selamanya. Aku sungguh terpukul mendengar kabar itu. Aku tak tahu harus bagaimana. Baru kemarin sore makan bakso bersama. Tentu saja kabar ini membuatku syok. Teringat tatapan matanya ketika sore itu sangat tajam. Aku tak sadar kalau itu merupakan tatapan terakhirya. Anton sampai kapan pun kau adalah sahabat terbaikku. Aku janji setelah lulus nanti aku akan kuliah seperti yang kau sarankan waktu sore itu.** 

Dimuat Koran Harian Minggu Jogja (10/6/2021)

CERITA REMAJA KORBAN KEKERASAN


 

Korban Kekerasan

Oleh Agus Yulianto

 

            Suara riuh siswa kelas XI SMA Pertiwi pagi ini membuat para guru berhamburan ke luar.  Si jagoan membuat ulah kembali. Dua lelaki bertubuh jakung dan gempal beradu kekuatan di saat matahari mulai memberi aroma panas di lapangan yang berukuran 28,5 meter dan lebar 15 meter itu.  Kejadian itu tentu saja menjadi tontonan para siswa dari balik jendela kelas.

Pak Roni pun mendatangi aroma yang mengundang keribuatan.  Selaku guru Bimbingan Konseling (BK) yang dikenal sangat galak. Ia langsung  turun tangan  melerai keduanya. Darwis  sudah memasang kuda-kuda dan Brenden kedua tangannya mengepal seperti petinju. Sebelum adu jotos berlanjut. Keduanya diamankan di ruang BK.

***

Awal mula pemicu masalah adalah Darwis. Dia pertama kali mengejek Brenden karena penampilannya kelihatan cupu. Brenden tidak terima dengan ejekan yang dilontarkan Darwis. Kesabaran Brenden pun sudah hilang. Akhirnya, terjadilah pemukulan yang dilakukan oleh Brenden. Dan Darwis pun membalasnya.

Darwis sudah berulang kali membuat keonaran di sekolah. Pihak sekolah tidak tahu yang melatar belakangi sikap Darwis berubah seratus derajat. Waktu kelas X dulu sikap anak itu sangat santun. Tidak tahu kenapa semenjak naik kelas XI semua berubah begitu cepat.

Pihak BK hingga saat ini masih belum menemukan penyebab  perubahan sikap Darwis. Pak Roni berinisiatif memanggil orang tua Darwis untuk datang ke sekolah.

**

“Maafkan anak saya, Pak?” suara parau seorang wanita yang berada di ruang BK terdengar memelas. Wanita yang ditaksir berusia empat puluhan itu wajahnya menunduk. Memohon dengan sangat agar anaknya tidak di drop out (DO) dari sekolah.

Air mata pun turut serta mewakili perasaannya. Wajahnya pun sudah terlihat layu. Seakan tidak ada gairah untuk hidup. Dia adalah ibunya Darwis.

Terlihat di beberapa bagian wajah ada sedikit luka lebam. Ujung bibirnya ada sebuah goresan luka. Seperti bekas tamparan.

Pak Roni yang saat itu didampingi Ibu Siska dengan penuh haru mendengarkan keluh kesahnya. Air bening pun tidak terasa menetes dari sudut mata Ibu Siska.

Kedua guru BK itu akhirnya memahami dibalik perubahan perilaku Darwis. Ternyata kehidupan rumah tangga kedua orang tua Darwis tidak begitu harmonis. Setiap malam selalu disuguhi adegan kekerasan. Ayah yang seharusnya menjadi pelindung keluarga. Malah sebaliknya menjadi penjahat keluarga.

Menurut cerita ibunya hal itu disebabkan karena perusahaan yang dimiliki ayahnya mengalami ke bangkrutan. Mau tidak mau harus menanggung beban hutang.  Mengingat seluruh aset yang dimiliki sudah habis terjual. Semenjak itu sering terjadi percekcokan hingga akhirnya berujung pada tindak kekerasan.

Kekerasan tidak hanya terjadi pada ibunya. Darwis pun juga sering mendapat tendangan dari ayahnya karena masalah sepele. Kejadian itu tidak terjadi sekali akan tetapi hampir setiap hari. Semua itu dinikmati Darwis dengan luka yang menganga. Meski hatinya remuk redam lelaki yang dijuluki mirip penyanyi asal Korea Choi Min-Ho ini berusaha tegar. Meski ia menangis di atas sajadah yang tebentang.

Mendengar cerita dari Ibunya Darwis. Kedua mata Pak Roni dan Bu Siska saling beradu pandang. Mencari solusi terbaik untuk masa depan Darwis. Sangat disayangkan jika Darwis harus dikeluarkan dari sekolah. Sebab anak itu pintar dan selalu juara dalam setiap perlombaan.

Demi masa depan Darwis agar lebih baik. Pak Roni dan Bu Siska menawarkan sebuah tempat tinggal sementara untuk Darwis.  Asrama yang terletak tidak jauh dari sekolah. Sebenarnya asrama itu diperuntukkan untu anak-anak program Boarding School.

Ibunya Darwis tidak bisa berbuat apa-apa. Akan tetapi, semua itu akan dikembalikan juga pada Darwis. Jujur Ibunya tidak rela melepas Darwis. Namun bagaimana lagi kalau memang semua itu untuk kebaikan anaknya. Segala bujuk rayu dilakukan ibunya. Akhirnya, Darwis menerima tawaran itu.

Semoga kau kelak menjadi lelaki yang menghargai wanita. Perlakukanlah wanita selayaknya wanita. Sebab wanita itu ibarat kaca yang berdebu. Jangan terlalu keras membersihkannya. Nanti mudah retak dan pecah. Ucap ibunya dalam hati. Sambil memeluk erat anak lelaki satu-satunya itu.**


Dimuat Koran Harian Minggu 14 Juni 

Tulisan Disukai Pembaca

Mengulas Buku Fiksi Antologi Cerpen Amygdala

  Amygdala Sebuah Proses Kehidupan www.agusyulianto.com   Judul Buku : Antologi Cerpen FLP Jawa Tengah Amygdala Penulis : Rahman Hanifan, ...