Titip Rindu untuk Ayah
Agus Yulianto
Pernah dimuat di Majalah Hadila
Gambar https://pixabay.com/id/photos/
Lima
bulan yang lalu ayahku meninggalkan ibu. Tentu saja ibu sangat kecewa dengan
sikap ayah yang semena-mena tanpa ada alasan yang jelas. Aku melewati hari-hari
bersama ibu. Kami hidup serba pas-pasan. Ibu tidak menginjinkan aku untuk
bekerja. Aku sebagai anak merasa
berdosa, tetapi apa yang bisa aku lakukan karena kondisi diriku yang tidak
memungkinkan. Tuhan telah menguji diiriku dengan sebuah penyakit.
Awal cerita dari penyakitku:
Penyakit
ini berawal ketika aku berusia 5 tahun. Selayaknya anak seusia balita yang
gemar berlari-larian dan melakukan hal-hal unik. Tidak aku sangka ternyata
kebiasaan waktu kecil itu dapat membahayakan diriku. Saat itu, aku bersama
teman-teman bermain jungkir-balik di halaman rumah tiba-tiba saja aku terjatuh.
Kejadian itu sangat fatal mengganggu kecerianku. Akibatnya, kepalaku lemah ke kanan
dan tak kuasa ditegakkan seperti semula. Kepala itu rebah ke bahu sebelah kanan
atau orang padang menyebutnya dengan Teleng. Tentulah hati ayah dan ibu miris melihat
kondisiku. Berbagai pengobatan diupayakan, mulai dari medis hingga pengobatan
tradisional sampai ke tukang urut. Tapi tak ada satu pun yang mempan membuat
fisikku kembali normal.
“Ibu,
Kenapa kepalaku ini? Kok tidak bisa
digerakkan." Saat itu Ibu hanya
bisa menangis. Dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan kepadaku.
Ibu hanya bilang, “Kepalamu tidak apa-apa, Nak.
Insyaallah, akan cepat sembuh asal rajin
minum obat dan istirahat yang cukup” jelas Ibu sambil menghibur diriku. Aku
hanya bisa tersenyum karena aku belum bisa merasakan sakit yang aku derita.
Maklum usiku dulu baru 6 tahun.
***
Hari-hari
aku lalui dengan perbedaan yang teramat mencolok dari anak-anak pada umumnya.
Kesedihan terus bergelayut di batin kedua orang tuaku, terutama ayah yang tak bisa membayangkan bagaimana
kelak ketika aku dewasa.
“Ayah,
aku ingin bermain bersama teman-teman” pintaku.
“
Jangan bermain dulu!” tegas ayah.
“Memangnya
kenapa” aku pun menangis sejadi-jadinya.
Ayah bukannya mendiamkanku, tetapi dia berlalu
begitu saja dari kamarku. Ketika melihat sikap ayah, Ibu tidak terima.
Akhirnya, pertengkaran pun terjadi kembali. Hari-hari ku bagaikan dalam sebuah
penjara. Hidup terkurung tidak sebebas yang dulu. Aku hanya menonton sebuah adegan yang
seharusnya tidak pantas aku tonton. Pertengkaran antara Ayah dan Ibu.
Semenjak itu hari-hariku menjadi kelabu. Dunia ini seakan
begitu sempit. Aku hanya bisa menangis. Apa
yang bisa aku lakukan dengan kondisi seperti ini. Apa selamanya aku akan
menjadi benalu buat mereka? Akibat kecerobohan yang aku perbuat sendiri. Hingga
akhirnya, ayah memilih untuk berpisah dengan ibu meskipun tak ada alasan yang
jelas. Aku sempat berfikir, Apa karena diriku. Aku hanya seorang anak kecil yang tidak tahu
apa-apa tentang perpisahan ayah dan ibu. Saat itu aku hanya tahu ayah pergi ke
luar kota untuk bekerja. Pamitnya padaku. Ayah sempat memberikan sebuah sajadah
biru, dia hanya berpesan jika rindu pada ayah sujudlah dengan sajadah biru ini.
***
Kini usiaku sudah 23 tahun, aku masih sama seperti yang dulu.
Tidak ada yang bisa aku lakukan. Aku hanya menangis meratap kepada sang
Pencipta. Hari-hari yang selalu di hiasi dengan air mata. Seakan hidup ini
begitu membosankan.
Pernah
suatu ketika aku ingin mengakhiri semua perjalanan hidup ini, namun semua itu
digagalkan oleh ibuku.
“Sadar, Nak!” gertak ibu padaku.
“Ingat sama yang Kuasa, kuatkan hatimu Nak.”
ibu pun menangis sejadi-jadinya sambil memeluk diriku.
“Aku hanya anak sampah tidak berguna. Buat apa
aku melanjutkan hidup ini. Kalau Tuhan saja tidak peduli padaku” aku sudah
mulai putus asa.
“Kamu bicara apa” aku dipeluk begitu erat. Air
mata kami mengalir begitu deras. Aku merasakan begitu hangatnya kasih sayang
ibu.
Maafkan aku Ibu. Ucapku dalam hati. Ibu tidak henti-hentinya
memintaku untuk mengucapkan istigfar. Bibir ini masih kelu, tetapi aku
mencoba untuk mengucapkan kalimat yang maha dahsyat itu agar hatiku tidak mati.
***
Kini, orang tuaku adalah ibu. Aku tidak ingin
membuat ibu terlalu mengkhawatirkanku. Bagiku ibu juga merupakan seorang ayah
yang mengajarkan banyak hal padaku. Makna hidup dan sebuah cinta. Sedangkan
ayah sosok yang sudah hilang dari ingatanku. Meskipun aku masih tetap saja
merindukannya.
“Maafkan
aku bu karena sudah mengharuskan ibu turut dalam kehidupanku seperti ini.”
“Tidak
Nak, Ibu tidak merasakan hal itu. Yang terpenting bagi ibu adalah kebahagiaanmu
dalam menjalani kehidupan ini.”
“Ibu,
Ayah sekarang tinggal dimana” aku memberanikan diri untuk bertanya pada Ibu.
Mungkin ibu tahu tentang keberadaan ayah.
“Kenapa
kau masih mencari orang yang tidak sayang padamu?,”
“Sebenarnya
ayah masih sayang kepadaku. Aku masih bisa merasakan hal itu. Sebelum dia pergi
meninggalkan kita, sempat mata ayah menatap ke arahku. Matanya terpancarkan
cahaya kasih sayang. Aku yakin ayah masih sayang meskipun kondisiku seperti ini.”
“Sudahlah,
biarkan dia hidup bersama keluarganya yang baru” ketika ibu mengatakan hal itu
jujur saja aku kaget. Mata ini mulai sembab kembali. Ibu pun melayangkan sebuah
surat yang sudah lama dia sembunyikan dariku. Dalam surat itu Ayah memutuskan
untuk berpisah dengan ibu. Ayah juga mengirimkan sebuah foto bersama
keluarganya yang baru. Aku sebagai anaknya sangat terpukul. Kenapa ibu
menyembunyikan ini semua dariku?
Aku
perhatikan wajah ibu yang mulai layu kembali. Aku masih menyimpan sebuah
pertanyaan yang sampai saat ini belum aku temukan jawabannya. Kenapa ayah
meninggalkan Ibu? Sepertinya, ada yang ibu rahasiakan dariku.
“Ibu,
dalam setiap doa aku selalu bertanya pada yang Kuasa.”
“Apa
yang kau tanyakan?”
“Sebuah
perpisahan antara ayah dan ibu.”
Ibu hanya diam mematung diri.
“Ada
sebuah rahasia yang selama ini ibu sembunyikan dariku.”
Ibu
hanya diam. Bagaikan patung yang mulai rapuh. Aku genggam tangan ibu yang sudah
mulai layu tak bertenaga. Ibu pun memelukku seketika. Aku merasakan betul
pelukan hangat tanda cintanya padaku. Sebuah pertanda tidak ingin pisah
denganku.
“Tidak
ada sebab perpisahan antara ibu dengan ayah.” hanya itu jawaban ibu. Ibu pun
melepaskan pelukannya berlalu meninggalkanku sendiri di dalam kamar ini.
***
Sang
surya mulai bersinar dalam kehidupanku. Seolah-olah teriknya tidak membawa
pengaruh bagiku dalam menjalani kehidupan ini. Hari-hari yang aku lalui semakin
mendewasakanku dalam setiap perjalanan waktu. Karena itulah aku ingin menjadi
anak yang baik dalam segala hal. Membahagiakan orang yang aku cintai
satu-satunya dalam hidupku;Ibu.
Terukir harapan dan doa agar aku dapat ikhlas
menjalani semua pribadiku. Ku baca sebuah buku catatan usang yang ayah
tinggalkan dulu. Buku itu tersimpan rapi di rak buku ku. Arus waktu membawaku
dalam masa kecilku dulu. Setiap malam
menjelang aku tidur, ayah sering
bercerita tentang Kisah Pangeran dan Putri Salju. Di sela-sela ayah
bercerita, dia menulis di buku
catatannya yang selalu di simpan dalam rak buku di kamarku. Saat itu aku tidak
tahu apa yang ayah tulis. Aku hanya berfikir mungkin itu bagian dari pekerjaan
ayah.
Aku buka buku catatan itu, di halaman depan
ada sebuah fotoku bersama ayah dan ibu. Ku buka halaman kedua ada sebuah
tulisan Aku sangat menyayangi kalian semuanya. Aku buka halaman ketiga
tertulis nama Ibu “ Aini” dengan huruf kapital di bawah tulisan nama itu ada
sebuah kalimat cinta tak selamanya
memiliki. Aku anggap ini hal biasa. Ku buka halaman berikutnya sampai aku
menemuka sebuah kalimat di halaman terakhir dalam catatan itu, ketika tidak
ada cinta dalam membangun mahligai rumah tangga. Aku tidak yakin untuk
mempertahankan semua ini. Aku sampai detik ini masih tetap mencintainya.
Maafkan aku tidak bisa melupakannya.
Ku tutup buku itu dan ku tutup dengan
doa. Kini, aku telah menemukan sebuah
jawaban. Meskipun hanya satu pernyataan
namun dapat menjelaskan semua kenyataan.
No comments:
Post a Comment