Pendidikan Ramah Anak study kasus SDIT Nur Hidayah Surakarta
Oleh: Agus Yulianto, S.Pd.I
Guru SD IT Insan Cendekia, Teras, Boyolali
Alumni IAIN Surakarta Jurusan PAI, FITK
ABSTRAK
The pattern
of child-friendly education will give birth to children of students are not
only intelligent but also smart intellectual conscience. Intelligent intellect
alone just makes protégé like a robot due cekoki always in the curriculum, so
that this intellectual intelligence needs to be aligned with the clarity of
conscience. It becomes imperative embodied see context violence still occurs
frequently in students conducted by fellow students, teachers and others in the
school environment so that the school can not be a friendly place for
anak.Sehingga need to be investigated how the implementation of child-friendly
education. The purpose of this study was to describe the implementation of
child-friendly education in class VB in SDIT Nur Hidayah Surakarta.
This study
used a descriptive approach qualitative case study, the research subjects were
classroom teachers VB and VB grade students while the informants were teachers,
employees, security guard and principals. The data collection is done by
observation, interview and documentation. Whereas examination of the data using
triangulation techniques of data that includes data and methodological
triangulation. Data analysis was performed with a model of the Interactive
Analysis.
Friendly
education where schools can create a child-friendly environment that create an
atmosphere that is safe, comfortable, healthy and conducive accept what their
child, and appreciate the potential of children. Children are free to be
creative in an atmosphere of learning with an educational environment that is
filled with affection. Implementation of child-friendly education can be
classified into four, namely physical Friendly, Friendly non-physical, learning
activities in the classroom and learning activities outside the classroom.
Keywords:
Education, Child Friendly
ABSTRAK
Pola pendidikan ramah
anak akan melahirkan anak-anak didik yang tidak hanya cerdas intelektualitasnya
akan tetapi juga cerdas nuraninya. Cerdas intelektualitas saja hanya membuat
anak didik layaknya robot akibat selalu di cekoki kurikulum, sehingga kecerdasan
intelektualitasnya ini perlu diselaraskan dengan kebeningan nuraninya. Hal ini
menjadi penting diwujudkan melihat konteks masih sering terjadi kekerasan pada
siswa yang dilakukan oleh sesama siswa, guru dan pihak lain di dalam lingkungan
sekolah sehingga sekolah belum bisa menjadi tempat yang ramah bagi
anak.Sehingga perlu diteliti bagaimanakah penerapan pendidikan ramah anak.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penerapan pendidikan
ramah anak pada siswa kelas VB di SDIT Nur Hidayah Surakarta.
Penelitian ini
menggunakan pendekatan diskriptif kualitatif yang bersifat studi kasus, subjek
penelitian adalah guru kelas VB dan siswa kelas VB sedangkan informan adalah
guru, Karyawan, Satpam dan kepala sekolah. Pengumpulan data dilakukan dengan
observasi, wawancara dan dokumentasi. Sedangkan pemeriksaan data menggunakan
tekhnik Triangulasi data yang meliputi triangulasi data dan metodologis.
Analisis data dilakukan dengan model Analisis Interaktif.
Pendidikan ramah
dimana sekolah dapat menciptakan lingkungan yang ramah anak yaitu membuat
suasana yang aman, nyaman, sehat dan kondusif, menerima anak apa adanya, dan
menghargai potensi anak. Anak bebas berkreasi dalam belajar dengan suasana
lingkungan pendidikan yang penuh dengan kasih saying. Penerapan pendidikan
ramah anak dapat diklasifikasikan menjadi 4
yaitu Ramah fisik, Ramah non fisik, Kegiatan pembelajaran di dalam kelas
dan kegiatan pembelajaran di luar kelas.
Kata Kunci : Pendidikan, Ramah
Anak
PENDAHULUAN
Pendidikan
memiliki posisi yang sangat strategis dalam mencetak generasi masa depan yang
berkualitas, memiliki keimanan yang kokoh, kepribadian yang unggul, menguasai
sains dan teknologi yang mampu mengarahkan masa depan suatu Negara menjadi
lebih maju. Dalam lintasan sejarah umat manusia, hampir tidak ada kelompok
manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan
peningkatan kualitasnya. Pendidikan dibutuhkan untuk menyiapakan anak manusia
demi menunjang perannya dimasa datang dan untuk meningkatkan harkat dan
martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat.
Dengan
demikian pendidikan yang berhasil akan mampu melahirkan manusia yang memiliki
kepribadian unggul yang merupakan
manifestasi dari pemahaman dan keyakinan aqidah Islam. Akan tetapi, di
eraglobalisasi saat ini sering terjadinya kekerasan terhadap anak. Hal ini
ditandai dengan munculnya berbagai macam kasus kekerasan yang merebak dalam
dunia pendidikan, kasus pelecehan kekerasan seksual terhadap peserta didik,
yang merupakan potret buram dari rendahnya produk pendidikan di Indonesia.
Hal
ini bukanlah menjadi suatu hal yang baru lagi apabila banyak kalangan yang
menilai jika pendidikan yang berlangsung selama ini masih jauh dari nilai-nilai
demokratis dan humanisme. Bahkan, dapat dikatakan jika pendidikan secara tidak
disadari telah mengalami proses de-humanisasi dan de-demokrasi.
Dikatakan demikian karena pendidikan telah mengalami proses kemunduran dengan
terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi yang dikandungnya. (Haryanto
Al Fandi,2011:203).
Sementara
itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat tahun 2012 kemarin
terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap anak di sekolah hingga lebih dari
10 persen. Wakil Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Apong Herlina
mengatakan kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah terjadi dalam berbagai
jenis baik itu dilakukan oleh guru maupun antar siswa. Kasus kekerasan
itu juga terjadi merata hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Catatan
ini didasarkan pada hasil survey KPAI di 9 propinsi terhadap lebih dari 1000
orang siswa siswi. Baik dari tingkat Sekolah Dasar/MI, SMP/MTs, maupun SMA/MA.
Survey ini menunjukan 87,6 persen siswa mengaku mengalami tindak kekerasan.
Baik kekerasan fisik maupun psikis, seperti dijewer, dipukul, dibentak, dihina,
diberi stigma negatif hingga dilukai dengan benda tajam. Sebaliknya 78,3 persen
anak juga mengaku pernah melakukan tindak kekerasan dari bentuk yang
ringan sampai yang berat dalam http://fauzulandim.blogspot.com/2012/09/sekolah-ramah-anak.html.
Selain
itu, kasus kekerasan yang terjadi selama kurun waktu tahun 2013 Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas
PA) melaporkan sebanyak 3.023 kasus pelanggaran
hak anak terjadi di Indonesia dan 58 persen atau 1.620 anak jadi korban
kejahatan seksual. Dilihat dari klasifikasi usia, dari 3.023 kasus tersebut,
sebanyak 1.291 kasus (45 persen) terjadi pada anak berusia 13 hingga 17 tahun,
korban berusia 6 hingga 12 tahun sebanyak 757 kasus (26 persen), dan usia 0
hingga 5 tahun sebanyak 849 kasus atau 29 persen dalam http: //www.megapolitan.kompas.com.
Merujuk pada hasil riset dari KPAI tersebut menunjukkan bahwa
sekolah hingga detik ini belum bisa menjadi tempat yang ramah bagi anak
(siswa). Meskipun disebut sebagai lembaga pendidikan, akan tetapi kekerasan
justru sering lahir dari tempat ini. Hal tersebut tentu sangat kontraproduktif
dengan makna sekolah itu sendiri, yaitu sebagai tempat untuk belajar, bukan
tempat untuk melakukan kekerasan. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat
begitu menyenangkan bagi anak, karena di lembaga pendidikan inilah anak-anak
akan di didik untuk saling mengenal, menyayangi satu dengan yang lain bukan
untuk bermusuhan atau saling menindas.
Sekolah seharusnya
dijadikan sebagai tempat untuk menanamkan nilai-nilai akhlakul karimah (pendidikan
budi pekerti) dan juga untuk menanamkan nilai-nilai karakter, telah dinodai
oleh perbuatan-perbuatan yang tidak bertangungjawab dan tidak memahami arti
dari sebuah proses pendidikan.
Pendidikan yang
seharusnya menanamkan nilai-nilai kemanusiaan justru melunturkan makna
humanisme itu sendiri. Pendidikan yang semestinya menanamkan sikap toleransi,
kepedulian terhadap sesama, kesadaran tentang perbedaan (pluralisme),
adanya kesamaan hak serta kewajiban, kebebasan berpendapat dan sebagainya,
justru mengebiri makna kebebasan dan memasung kemerdekaan peserta didik.
Akibatnya, apresiasi output pendidikan
terhadap keagungan nilai humanistik, demokrasi, keluhuran budi, dan hati nurani
menjadi nihil (Haryanto Al Fandi,2011:203).
Dalam hal ini bukan
hanya sekolah sebagai institusi pendidikan yang namanya akan
tercemar, kepala sekolah, guru, siswa bahkan orang tua pelaku juga akan menjadi
jelek di mata masyarakat. Kekerasan di sekolah atas nama apapun seharusnya
tidak terjadi.
Menurut
Bashori Muchsin (2010:51-54) untuk mensikapi kondisi tersebut maka diperlukan
adanya perlindungan terhadap hak-hak anak. Hak anak ini sudah tercantum dalam
suatu Konvensi Hak Anak tahun 1989 yang disepakati dalam sidang Majelis Umum
PBB ke 44, yang selanjutnya dituangkan dalam resolusi PBB Nomor 44/25 tanggal 5
Desember 1989. Dimana setiap anak tanpa memandang ras, jenis kelamin,
asal-ususl keturunan, agama maupun bahasa, mempunyai hak-hak yang mencakup 4
bidang yaitu: Hak Hidup, Hak Mendapatkan Perlindungan, Hak untuk Tumbuh
Kembang, dan Hak Partisipasi.
Berdasarkan
hal tersebut, pada tahun 2002 Indonesia menetapkan suatu peraturan
perundang-undangan No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang dijelaskan
dalam Pasal 4, yang berbunyi “Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusian, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Tujuan
dari undang-undang tersebut sebagai suatu upaya agar hak-hak anak bisa
benar-benar ditegakkan dan dihargai oleh semua orang. Karena anak merupakan
tunas, potensi, dan generasi penerus
cita-cita bangsa. Mereka memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi
bangsa dan negara pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, guna memikul tanggung jawab tersebut maka
mereka perlu mendapatkan kebebasan untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
Anak
mempunyai posisi yang sangat strategis. Menurut Hariwijaya bahwa dalam
keluarga, anak adalah prioritas utama sebagai tumpuan masa depan keluarga. Pada
anak seluruh harapan dan cita-cita orang tua tertumpah. Namun seringkali hal
ini menjadi beban berat yang harus dipikul oleh anak. Manakala orang tua
menjadikan anak sebagai pelampiasan obsesi mereka yang belum tercapai. Anak
dijadikan sarana untuk mengejawantahkan impian mereka. Sehingga hal ini menjadi
tidak sehat bagi anak, mereka dipaksa berjalan menurut rel yang telah
digariskan orang tua mereka tanpa bisa melawan. (Kristianto, 2011: 44, Jurnal
Penelitian PAUDIA, Vol 1 No.1).
Berdasarkan hal
tersebut, begitu penting bagi kita untuk membenahi konsep sebuah pendidikan
yang menyelenggarakan sistem belajar mengajar yang menghargai setiap potensi
yang ada, serta di selaraskan dengan kondisi psikologi siswa, sehingga otak
mereka akan sangat mudah untuk bekerja sama dalam proses pembelajaran dan
proses belajar pun akan menjadi sangat optimal dan efektif.
Siswa tidak hanya
dikurung di dalam kelas, tetapi juga belajar di ruang terbuka dengan berbagai
variasi model pembelajaran dan dikemas dalam aktivitas yang menantang dan
permainan edukatif. Budaya belajar harus menjadi “Petualangan seumur hidup” dan
“Perjalanan eksplorasi tanpa akhir”, sehingga pertumbuhan seluruh kepribadian
terintergrasi dengan nilai-nilai yang dipelajari. Dengan demikian “belajar”
akan menjadi sangat bermakna dan mampu mencetak pribadi-pribadi yang
berkualitas yang lebih dikenal dengan konsep pendidikan ramah anak yang
selanjutnya akan disebut sekolah ramah anak.
Untuk mewujudkan hal
tersebut, banyak hal yang harus dipenuhi di antaranya selalu mengajak anak
berpartisipasi dalam memutuskan setiap kebijakan sekolah misalnya dalam hal
penyusunan tata tertib sekolah atau jenis hukuman bila mereka melanggar. Selain
itu, sarana dan prasarana yang ada di sekolahpun harus dipenuhi.
Pendidik juga mempunyai
peran yang sangat signifikan, mereka harus mampu menjadi pendidik yang ramah
terhadap anak dan mampu menjadi fasilitator yang baik
bagi anak didiknya. Sementara anakpun harus dinilai sikap dan perilakunya
ketika mereka berinteraksi dengan temannya pada saat istirahat. Selain itu guru
harus memberikan rasa aman dan keselamatan kepada setiap peserta didik di dalam
menjalani masa-masa belajarnya. Hal ini dikarenakan
sekolah hingga detik ini belum bisa menjadi tempat yang ramah bagi siswa.
Dengan demikian anak
bukan lagi sebagai obyek dalam pendidikan namun sebagai subyek, anak bebas
berkreasi dalam belajar dengan suasana lingkungan pendidikan yang penuh dengan
kasih sayang. Tugas dan tanggung jawab guru di sekolah ataupun diluar sekolah
sangat kental dengan pesan-pesan moral kebaikan. Karena itu, tidak salah jika
dikatakan bahwa ketika seorang guru mengajarkan sesuatu dikelas, itu berarti
sama dengan menyampaikan pesan-pesan Tuhan berupa kebajikan-kebajikan kepada
siswa.
Hal ini senada dengan
yang diungkapkan oleh Moh.Suryo tentang peranan guru di sekolah, keluarga, dan
masyarakat dipandang dari segi diri pribadinya, seorang guru harus berperan
sebagai;(1) pekerja sosial; seorang yang harus memberikan pelayanan kepada
masyarakat, (2) pelajar dan ilmuwan; seorang yang harus senantiasa belajar
secara terus menerus untuk mengembangkan penguasaan keilmuan, (3) orang tua;
guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah,
(4) model keteladanan; guru merupakan model perilaku yang harus dicontoh oleh
peserta didik di sekolah, (5) pemberi rasa aman dan kasih sayang bagi setiap
peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan
gurunya (Rohinah M.Noor, 2012:123).
Hal itu selaras dengan
UU No.23 tahun 2002 pasal 54 tentang Perlindungan anak yang berbunyi:
“Anak di dalam dan di
lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang
bersangkutan atau lembaga pendidikan
lainnya.”
Dari pasal tersebut
dapat ditarik kesimpulan dimana seorang anak harus merasa aman dan nyaman selama
proses pembelajaran. Salah satunya dengan menciptakan lingkungan yang ramah
anak, yaitu membuat suasana yang aman, nyaman, sehat dan kondusif, menerima
anak apa adanya, dan menghargai potensi anak (Arismantoro,2008:2).
Berkaitan dengan ramah
anak pendidikan di Indonesia membutuhkan profil lembaga pendidikan
yang dapat dijadikan contoh sebagai pendidikan ramah anak. Kota Surakarta merupakan salah satu kota yang
termasuk dalam pengembangan kota layak anak. Terpilihnya Surakarta sebagai tuan
rumah 2nd International Conference on Child Friendly Asia Pacific karena
pengembangan Kota Surakarta yang terbilang cukup memuaskan. Surakarta terpilih
karena dinilai berhasil menjalankan program kota layak anak secara baik. Di
antaranya telah menerbitkan pemeliharaan kesehatan anak, bantuan pendidikan
anak, pengadaan taman cerdas, serta kartu insentif anak
dalam http://poskokota.co.id
/Solo Tuan Rumah Konferensi Kota Layak Anak (diakses pada 29 Juni 2011)
SDIT Nur Hidayah Surakarta
merupakan lembaga sekolah yang pertama kali mencanangkan diri sebagai sekolah
yang mempelopori pendidikan ramah anak. Hal itu diwujudkan dengan
berbagai indikator pendukung, seperti Visi & Misi, program ektrakurikuler,
pembinaan tenaga pendidik (guru) terkait pembelajaran, sarana bermain, minat
bakat dan berbagai indikator pendukung lainnya.
Untuk
mencapai sekolah ramah anak ini juga tidak lepas dari kelengkapan sarana
prasarana (sarpras) fisik di sekolah. Saat ini, SDIT Nur Hidayah telah memiliki
sebanyak 45 fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) bagi siswanya. Untuk sistem
pembelajaran semua guru diharuskan memiliki kemampuan mengajar menyenangkan,
yakni menggunakan sistem Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan (PAIKEM). Hal itu dilakukan agar Kegiatan Belajar Mengajar (KBM)
siswa tidak merasa bosan. Sehingga, dengan begitu pelajaran yang diajarkan
dapat diterima dengan mudah oleh siswa. Untuk kelas satu dan dua menggunakan
sistem pembelajaran thematic teaching, opening thematic dan diakhir
pembelajaran selalu diadakan kegiatan di luar kelas (outing class).
Menurut
Bashori Muchsin,dkk (2010:183) dari pola pendidikan ramah anak, akan terlahir
anak-anak didik yang tidak hanya cerdas intelektualitasnya, tetapi juga cerdas
nuraninya. Cerdas intelektualitas saja hanya membuat anak didik layaknya robot
akibat selalu di jejali kurikulum, sehingga kecerdasan intelektualitasnya ini
perlu diselaraskan dengan kebeningan nuraninya.
Dari
uraian di atas, penelitian ini mencoba untuk mengamati penerapan Pendidikan
Ramah Anak yang dilaksanakan di Sekolah Islam Terpadu. Sehingga penelitian ini
diberi judul: “Pendidikan Ramah Anak” (Studi Kasus SDIT Nur Hidayah Surakarta).
Pendidikan Ramah Anak
Menurut
Arismantoro (2008) yang dimaksud
dengan pendidikan ramah anak adalah menciptakan lingkungan
belajar yang kondusif (condusive learning community) sehingga anak dapat
belajar dengan efektif di dalam suasana yang memberikan rasa aman, penghargaan
tanpa ancaman, dan memberikan semangat.
Hal senada juga di ungkapkan oleh Ngadiyo (2013:18) bahwa pendidikan ramah anak
adalah pendidikan yang anti diskriminatif, menerapkan PAIKEM, perhatian dan
melindungi anak, lingkungan yang sehat, serta adanya partisipasi orang tua dan
masyarakat. Disamping itu, sekolah ramah anak tidak menekan, memaksa, dan
mengintimidasi anak sehingga anak memiliki kemerdekaan memilih belajar dan
mengembangkan potensinya dengan senang dan riang.
Hal tersebut
sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Aqib bahwa model sekolah ramah anak
lebih banyak memberikan prasangka baik kepada anak, guru menyadari tentang
potensi yang berbeda dari semua peserta didiknya sehingga dalam memberikan
kesempatan kepada siswanya dalam memilih kegiatan dan aktivitas bermain sesuai
minatnya (Kristanto, 2011 : 41 Jurnal Penelitian PAUDIA, Vol 1 No.1)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa pendidikan ramah anak merupakan
proses bagaimana seorang anak bisa bersemangat, antusias, dan berbahagia dalam
mengikuti pelajaran dikelas, bukannya terbebani dan menjadikan belajar di
sekolah sebagai momok yang menakutkan. Dengan
begitu, mereka bisa mendapatkan pengetahuan dengan baik, mengikuti pembelajaran
dengan nyaman dan aman.
Sedangkan menurut Bashori
Muchsin (2010:182) menyatakan bahwa pola pendidikan berbasis ramah anak yaitu suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan
yang memperlakukan anak sebagai subyek yang hidup, punya hak berekspresi, hak
menikmati kegembiraan, hak bermain, hak berkomunikasi inklusif, dan hak
berdemokratisasi. Dalam hal ini pendidikan ramah anak itu tidak hanya terfokus pada penyelenggaraan proses
pembelajaran yang menihilkan (menghilangkan) praktik radikalitas atau gaya
represif terhadap anak didik, tetapi juga terhadap setiap kebijakan dari
pengelola pendidikan yang membuatnya kehilangan hak-hak fitri atau
fundamentalnya sebagai subjek pendidikan.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang
disampaikan Kristanto (2011:41) bahwa sekolah ramah anak adalah sebuah konsep
sekolah yang terbuka, berusaha mengaplikasi pembelajaran yang meperhatikan
perkembangan psikologis siswanya. Mengembangkan kebiasaan belajar sesuai dengan
kondisi alami dan kejiwaan anak.
Berbeda halnya dengan
Maria Ulfah (2010:64) menyatakan bahwa
pendidikan ramah anak adalah pola pendidikan yang menggunakan perspektif
gender, yaitu model pendidikan yang meniscayakan keadilan,baik laki-laki maupun
perempuan. Artinya, penanaman nilai dalam proses pendidikan anak ditekankan
pada pemahaman bahwa sifat-sifat feminisme
dan sifat-sifat maskulin memiliki nilai yang sama pentingnya dalam kehidupan sosial. Pendidikan yang
berkeadilan gender ini sebaiknya dimulai sejak anak-anak masih kecil,bahkan
bayi. Hal ini berarti bahwa seorang anak dituntut untuk kritis dan tidak
membedakan jenis kelamin. Pengertian disini lebih condong ke keadilan manusia
yang berasakan gender dan hak asasi manusia.
Perbedaan pendapat yang
dikemukakan oleh para pakar tersebut merupakan suatu hal yang wajar karena
dipengaruhi oleh perbedaan latar belakang, baik dari pendidikan, sosiologis
maupun sudut pandang yang digunakan oleh para pakar tersebut.
Dari beberapa
pengertian
diatas maka pendidikan ramah anak
ini dapat disimpulkan sebagai pendidikan yang
mengedepankan lingkungan belajar yang ramah, aman,
nyaman dan penuh kasih sayang yang sangat berpengaruh dalam perkembangan dan
pembentukan karakter anak tanpa adanya diskriminasi.
Ciri-ciri Pendidikan
Ramah Anak
Menurut
Kristanto (2011:46-47) dalam Jurnal Penelitian PAUDIA, Volume 1 No.1 ada beberapa ciri-ciri Sekolah Ramah Anak yang ditinjau dari beberapa aspek:
a) Sikap terhadap
murid;
Perlakuan adil bagi
murid laki-laki dan
perempuan, cerdas-lemah,
kaya-miskin, normal-cacat, anak
pejabat-anak buruh,
Penerapan norma agama,
sosial dan budaya
setempat. Serta Kasih
sayang kepada murid, memberikan
perhatian bagi mereka
yang lemah dalam
proses belajar karena memberikan
hukuman fisik maupun
nonfisik bisa menjadikan anak trauma. Saling menghormati
hak-hak anak, baik
antar murid, antar tenaga, kependidikan serta antara
tenaga kependidikan dan murid.
Seorang
pendidik harus menyadari bahwa setiap peserta didik mempunyai potensi yang
kadang-kadang tidak dapat terungkap, tidak diterima, dan tidak dihargai dalam
proses pendidikan. Oleh karena itu, seorang guru harus mengembangkan cara
pandang yang positif terhadap siswa dan tidak boleh membeda-bedakan antara
siswa satu dengan siswa yang satunya. Cara pandang yang positif akan mendorong
guru untuk mengembangkan perilaku yang konstruktif, suportif, humanis,
demokratis, dan tidak menggunakan cap negative atau perilaku-perilaku yang
menghancurkan harga diri siswa.
b. Metode Pembelajaran: Terjadi proses
belajar sedemikian rupa sehingga siswa merasakan senang mengikuti
pelajaran, tidak ada rasa takut,
cemas dan was-was, siswa menjadi
lebih aktif dan kreatif serta
tidak merasa rendah
diri karena bersaing dengan teman
siswa lain. Terjadi proses belajar yang efektif yang dihasilkan
oleh penerapan metode
pembelajaran yang variatif
dan inovatif.
Dalam proses pembelajaran seorang guru harus mampu
mengorganisasi setiap kegiatan belajar- mengajar dan menghargai anak didiknya
sebagai suatu subjek yang memiliki bekal dan kemampuan. Oleh karena itu,
interaksi antara seorang guru dengan siswa harus lebih banyak berbentuk
pemberian motivasi dari guru kepada siswa, agar siswa merasa senang, memiliki
semangat, potensi dan kemampuan yang dapat meningkatkan harga dirinya. Dengan
demikian siswa diharapkan dapat lebih aktif dalam melakukan kegiatan belajar.
c. Fasilitas Pembelajaran :Proses belajar
mengajar didukung oleh media ajar seperti buku pelajaran dan alat bantu
ajar/peraga sehingga membantu
daya serap murid.
Guru sebagai fasilitator menerapkan
proses belajar mengajar
yang kooperatif, interaktif, baik belajar
secara individu maupun
kelompok. Terjadi proses
belajar yang partisipatif. Murid
lebih aktif dalam
proses belajar. Guru
sebagai fasilitator proses
belajar mendorong dan
memfasilitasi murid dalam
menemukan cara/ jawaban sendiri
dalam suatu persoalan.
Suatu proses belajar – mengajar
dikatakan baik, bila proses tersebut dapat membangkitkan kegiatan belajar yang
efektif. Dalam tata kelola pembelajaran, guru tidak hanya memberi sejumlah
teori, wawasan, dan pengalaman saja kepada siswa, karena boleh jadi ada siswa
yang malas, tidak punya semangat,
motivasinya rendah, dan tidak memiliki kepercayaan diri yang baik. Untuk itu,
dalam proses pembelajaran guru harus mampu memerankan dirinya sebagai pelayan
belajar. Selaku pelayan belajar, guru tidak mengartikan mengajar sebagai upaya
mentransfer sejumlah ilmu pengetahuan, teori, maupun informasi semata kepada
para peserta didik. Mengajar adalah proses membantu kesulitan belajar siswa
dalam menemukan dan mengembangkan potensi dan jati dirinya secara utuh.
d. Pelibatan Murid:
Murid
dilibatkan dalam berbagai
aktifitas yang mengembangkan
kompetensi dengan menekankan proses
belajar melalui berbuat
sesuatu (learning by doing, demo, praktek, dan lain sebagainya). Melalui
berbagai aktivitas dapat menjadi tempat yang menunjang bagi berbagai kegiatan
dan kesempatan belajar bagi anak-anak. Hal ini karena dengan melakukan
aktivitas dapat merangsang perkembangan serta pertumbuhan fisik dari seorang
anak. Melalui kegiatan anak-anak dapat mengembangkan rasa percaya diri, menjadi
lebih sosial, belajar mandiri, mengembangkan intelektualnya, dan belajar
menyelesaikan permasalahan yang muncul.
e. Penataan Kelas; Murid
dilibatkan dalam penataan
bangku, dekorasi dan ilustrasi yang menggambarkan ilmu pengetahuan,
dan lain sebagainya. Penataan bangku secara klasikal (berbaris
ke belakang) mungkin
akan membatasi kreatifitas
murid dalam interaksi sosial
dan kerja dikursi
kelompok, Murid dilibatkan
dalam menentukan warna dinding
atau dekorasi dinding
kelas sehingga murid menjadi
betah di dalam
kelas, Murid dilibatkan
dalam memajang karya murid, hasil ulangan/ test, bahan ajar
dan buku sehingga artistik dan menarik serta
menyediakan space untuk
baca (pojok baca).
Bangku dan kursi sebaiknya ukurannya disesuaikan dengan
ukuran postur anak Indonesia serta mudah untuk digeser guna menciptakan
kelas yang dinamis.
Penataan ruang kelas yang
baik, rapih, indah, terstruktur dan terintergrasi, akan lebih memudahkan guru
dan anak dalam melakukan pembelajaran. Ruang kelas yang baik akan membuat anak
semakin terdorong untuk aktif melakukan kegiatan yang dipilih oleh mereka
sendiri. Penataan dan iklim yang baik juga akan membantu anak memahami hak dan
perasaan dirinya serta hak dan perasaan orang lain. Dengan penataan yang baik
anak akan lebih memahami aturan-aturan yang harus diikutinya tanpa harus
mendengarkan penjelasan gurunya setiap hari.
f. Lingkungan Kelas; Murid
dilibatkan dalam mengungkapkan
gagasannya dalam menciptakan lingkungan
sekolah (penentuan warna
dinding kelas, hiasan, kotak
saran, majalah dinding, taman kebun sekolah), Tersedia fasilitas air bersih,
higienis dan sanitasi,
fasilitas kebersihan dan
fasilitas kesehatan,
fasilitas sanitasi seperti
toilet, tempat cuci,
disesuaikan dengan postur
dan usia anak. Di sekolah
diterapkan
kebijakan/peraturan yang mendukung kebersihan dan
kesehatan. Kebijakan/peraturan
ini disepakati, dikontrol
dan dilaksanakan oleh semua murid.
Lingkungan merupakan salah
satu faktor penentu kunci keberhasilan dalam membangun kemampuan dan perilaku
anak. Implikasinya adalah bahwa penyediaan lingkungan bagi anak hendaknya
mendapat prioritas, apalagi jika lingkungan tersebut merupakan lingkungan
belajar.
Sedangkan menurut Chabib Mustafa (2009) sebuah
kawasan bisa dimasukan dalam kategori ramah anak apabila memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
1). Anak terlibat dalam pengambilan keputusan tentang masa depan diri,
keluarga, dan lingkungannya. Pemberian
kesempatan yang terbuka misalkan dalam
pengambilan keputusan tentang masa depan diri, keluarga, dan lingkunganya
disertai dengan kepercayaan terhadap kemampuan anak merupakan sikap para guru
yang sangat diharapkan. Tanpa sikap ini, perlengkapan sehebat apa pun yang
disediakan disekolah tidak akan optimal dalam membantu perkembangan anak. Guru
harus yakin pada kemampuan anak. Keyakinan dan kepercayaan ini akan membuat
sikapnya memberikan keleluasaan dan menempatkan anak sebagai subjek dan center
pembelajaran. Dengan kepercayaan dan kesempatan yang diberikan, anak pun akan
terbantu untuk percaya pada diri dan kemampuannya, ia tidak akan ragu untuk
mencoba dan mewujudkan keinginannya untuk bereksplorasi dan mengembangkan
potensinya.
2). Kemudahan mendapatkan layanan dasar pendidikan, kesehatan dan
layanan lain untuk tumbuh kembang. Pendidikan
merupakan proses yang sangat penting bagi umat manusia. Melalui pendidikan
inilah setiap orang belajar selurih hal yang belum diketahui. Melalui
pendidikan akan lahir seorang yang berilmu. Sama halnya dengan kesehatan yang
sangat penting untuk keberlangsungan hidup manusia. Dalam kaitanya dengan
pengembangan kawasan ramah anak, maka seorang anak itu harus mendapatkan suatu
pelayanan pendidikan dan kesehatan dengan mudah. Karena anak merupakan generasi
yang meneruskan keberlangsungan kehidupan ini.
3). Adanya ruang terbuka untuk anak dapat berkumpul, bermain, dan
berkreasi dengan sejawatnya dengan aman serta nyaman.Keamanan dan kenyaman merupakan hal yang harus
diperhatikan oleh pihak sekolah. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi
kecelakaan yang dapat terjadi kapan saja, dan dimana saja, mengingat usia anak
yang masih belum matang secara fisik dan mental dalam merencanakan dan mempergunakan
tubuhnya.
4) Adanya aturan yang melindungi anak dari bentuk kekerasan dan
eksploitasi.
Kasus kekerasan yang sering terjadi saat ini harus
menjadi perhatian penuh dalam dunia pendidikan.
Hal ini dikarenakan, kasus kekerasan yang terjadi rata-rata pada usia
anak-anak sekolah dasar, baik kekerasan seksual atau dikriminasi. Oleh karena
itu, pihak sekolah harus benar-benar memperhatikan dan melindungi anak dari
segala bentuk kekerasan dengan membuat peraturan serta kebijakan-kebijakan yang
mendukung perlindungan anak.
5) Tidak adanya diskriminasi dalam hal apapun terkait suku, ras,
agama, dan golongan. Sikap
diskriminasi selayaknya tidak boleh terjadi dalam menciptakan kawasan ramah
anak. Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama, dan berbagai
golongan. Oleh karena itu, perlu adanya penanaman sikap saling menghormati dan
menghargai satu sama lain yang tentunya dimulai dari seorang anak-anak. Hal ini
dapat dilakukan dalam kegiatan pembelajaran dan kehidupan sehari-hari.
Dari ciri-ciri pendidikan ramah anak di atas dapat disimpulkan bahwa suatu pendidikan
dapat dikatakan ramah anak apabila dengan melihat kondisi lingkungan belajar
yang aman, nyaman, dan penuh kasih sayang sebab hubungan yang terjalin dengan
rasa cinta dan kasih sayang antara anak dengan guru, orang tua, maupun sesama
teman sebanyanya sangat berpengaruh dalam membentuk karakter seorang anak.
Syarat
Pendidikan Ramah Anak
Terdapat beberapa
persyaratan yang harus dilakukan dalam menerapkan pola pendidikan yang ramah
terhadap anak. Sebagaimana menurut Maria Ulfah (2010:65-72), syarat pendidikan
ramah anak tersebut antara lain:
i. Tidak
membedakan jenis kelamin.
Orang tua
hendaknya tidak membeda-bedakan dalam memperlakukan anak laki-laki dengan
perempuan. Mulailah dengan hal kecil,misalnya pilihan warna,mainan dan
sebagainya. Setelah anak mulai mengenal lingkungannya,berikan kebebasan kepada
anak laki-laki dan perempuan untuk tumbuh dan mengekspresikan keingintahuannya.
Selain memulai dari keluarga, di sekolah juga guru-guru hendaknya menerapkan
kurikulum dan perlakuan terhadap anak didik secara setara. Begitu juga didalam
masyarakat,harus diciptakan struktur yang menghargai semua peran laki-laki dan
perempuan adalah sama.Model pendidikan dengan menanamkan nilai-nilai adil
gender ini harus diberikan kepada anak secara terpadu, baik di dalam
keluarga,sekolah,maupun dilingkungan masyarakat.
ii. Menumbuhkan sikap
kritis kepada anak.Pendidikan kritis untuk anak dapat
juga diartikan bahwa anak dapat menanyakan apa saja yang ingin diketahuinya
tanpa merasa takut dan ragu, dan orang tua, guru atau yang ditanya harus mampu menjawab
seluruh pertanyaan anak secara tepat dan benar.
iii. Tidak
diskriminatif dan menghargai perbedaan.
Anak sejak dini diperkenalkan pada nilai-nilai yang menghargai perbedaan.
Perbedaan tidak perlu dipertentangkan, akan tetapi harus ditumbuhkan sikap
saling menghargai satu sama lain.
iv. Demokratis. Pendidikan demokratis
dapat diberikan kepada anak usia dini dengan memberikan kesempatan kepada anak
untuk membuat pilihan-pilihan yang disukainya dari hal-hal yang paling
sederhana. Misalnya, memilih warna mainan,makanan yang disuka.
Dari
syarat-syarat pendidikan ramah anak di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan ramah anak ini merupakan pendidikan yang mengedepankan potensi anak
untuk lebih bersikap kritis,
demokratis, dan tidak
diskriminatif.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan
formal merupakan sebuah tempat dimana para orang tua menyerahkan anak-anak
mereka untuk mencari ilmu pengetahuan dan memperbaiki perilaku mereka. Di sekolah, para siswa
datang untuk belajar guna meraih cita-cita dan juga masa depan yang lebih baik.
Akan tetapi, sekolah hingga saat ini belum bisa
menjadi tempat yang ramah untuk anak. Hal ini
dikarenakan sering kali terjadinya kasus kekerasan atau tindak kekerasan di
sekolah baik itu dilakukan oleh guru atau sesama siswa itu sendiri.
Dalam hal ini peran pendidik harus
signifikan, mereka harus mampu menjadi pendidik yang ramah terhadap anak dan
mampu menjadi fasilitator yang baik bagi anak didiknya.Sementara siswapun harus
dinilai sikap dan perilakunya ketika mereka beinteraksi dengan temannya.
Dengan demikian anak bukan sebagai obyek
dalam pendidikan namun sebagai subyek, sehingga anak bebas berkreasi dalam
belajar dengan suasana lingkungan pendidikan yang penuh dengan kasih sayang. Dengan
pola pendidikan ramah anak maka akan terlahir anak-anak didik yang tidak hanya
cerdas intelektualitasnya, tetapi juga cerdas nuraninya.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukan
bahwa SDIT Nur Hidayah Surakarta
merupakan lembaga sekolah yang mencanangkan diri sebagai lembaga pendidikan
yang ramah anak. Hal itu diwujudkan dengan berbagai indikator pendukung,
seperti dari pemaparan Visi dan Misi
sekolah, sarana dan prasarana yang mendukung, program ekstrakurikuler,
pembinaan tenaga pendidik (guru) terkait pembelajaran, sarana bermain, minat
bakat dan berbagai indicator yang lainnya.
Selain itu berkaitan dengan konsep penerapan
pendidikan ramah anak di SDIT Nur Hidayah Surakarta dapat diklasifikasikan
menjadi 4 yaitu pendidikan ramah anak dilihat dari (1) Ramah Fisik;
dilihat dari bangunan sekolah atau kondisi lingkungan, dimana SDIT Nur Hidayah
Surakarta di bangun di atas tanah ± 2500, yang terdiri dari 1750 m² yang sudah
dimanfaatkan. SDIT Nur Hidayah Surakarta berada di tengah-tengah perumahan
penduduk, tetapi tetap terjangkau. Lokasi, situasi dan kondisi SDIT Nur Hidayah
sungguh kondusif, untuk proses pembelajaran karena tidak banyak kendaraan yang
melintas dan ketika ada yang melintas pun kecepatan tidak boleh lebih dari 10
km/jam terlihat dari tanda markas yang berada di utara sekolah.
Gedung SDIT Nur Hidayah terbagi menjadi
dua gedung yakni gedung yang berada di sebelah barat dan timur jalan. Gedung
yang berada di timur jalan terdiri dari 3 lantai. Di lantai pertama terdiri
dari pos satpam, ruang TU, ruang kepala sekolah, aula, UKS, ruang kepala
sekolah, aula, UKS, tempat wudhu dan ruang perlengkapan olahraga. Di lantai
kedua terdiri dari masjid untuk putra ruang kelas 5 dan 6 yang sebagian juga
berada di lantai 3 dan juga masjid untuk putri juga berada di lantai 3. Gedung
yang berada di sebelah barat terdiri 3 lantai yang terdapat koperasi, kantin,
lapangan basket, dan ruang kelas 1 sampai kelas 4.
(2) Ramah Non Fisik ;
terkait dengan pertimbangan rasa aman, pertimbangan minat dan rasa ingin tahu
anak, pertimbangan kebebasan berekspresi , pertimbangan membangun percaya diri
dan aktualisasi diri, pertimbangan menyalurkan emosi, serta pertimbangan
kegembiraan dan kesenangan anak.
SDIT Nur Hidayah setiap hari sabtu
merupakan hari bebas dari kegiatan belajar mengajar di dalam kelas. Anak-anak
diberi kegiatan untuk mengembangkan minat dan bakatnya. Misalnya, belajar
memasak nasi goreng, melukis, membuat majalah dinding dan lain sebagainya. SDIT Nur Hidayah juga melaksanakan kegiatan
ekstrakurikuler yang dilaksanakan di luar jam regular kurikuler. Kegiatan ini
sebagai kegiatan untuk pengembangan diri.Kegiatan ekstrakurikuler sendiri
diampu oleh guru dan orang dibidang ahlinya.Hal ini dilakukan untuk memberikan
kepada siswa kebebasan mengembangkan minat dan bakat mereka. Selain kegiatan
ekstrakurikuler ada juga kegiatan pengembangan kompetensi siswa yaitu melalui
kegiatan outing class. Murid
dilibatkan dalam berbagai aktivitas yang mengembangkan kompetensi dengan
menekankan proses belajar melalui berbuat sesuatu.
(3) Kegiatan Pembelajaran di dalam
kelas (Internal Learning Class); Program
pendidikan ramah anak di SDIT Nur Hidayah
dilihat
dari segi proses pembelajaran di dalam kelas menggunakan
pendekatan pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, menyenangkan, sehingga memudahkan
siswa dalam mencapai kompetensi yang ditargetkan serta didukung kegiatan
ekstrakurikuler yang mengarah pada life
skill. Selain
itu menerapkan aspek quantum teaching dan quantum
learning serta pembelajaran berbasis Students Active Learning (SAL)
dan Contextual Teaching and Learning (CTL).
(4) Kegiatan Pembelajaran di luar kelas(external
learning class) ; SDIT Nur Hidayah Surakarta didesain seperti
sekolah pada umumnya akan tetapi, tetap menyesuaikan dengan dunia anak-anak.
Ada taman bermain, aula untuk kegiatan siswa serta ada kantin, koperasi,
lapangan dan lain sebagainya. Selain itu, untuk menumbuhkan
keharmonisan antar warga sekolah SDIT Nur Hidayah Surakarta juga membangun pola
komunikasi yang baik, antara siswa dengan guru, siswa dengan karyawan, dan guru
dengan karyawan. Missal ketika ada seorang siswa yang meminta tolong baik
kepada guru, pegawai harus dilayani dengan sepenuh hati tidak boleh
membeda-bedakan. Sehingga siswa merasa nyaman dan tidak ada rasa takut sedikitpun
karena pola interaksi yang dibangun dengan menggunakan pola kekeluargaan. Tidak
hanya itu saja pola komunikasi antara pihak sekolah dengan wali murid juga
dibangun. Hal ini dengan adanya program Paguyuban
Orang Tua Murid dan Guru (POMG).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di SDIT Nur Hidayah Surakarta
mengenai pendidikan ramah anak dapat
diambil kesimpulan bahwa Pendidikan ramah anak dimana sekolah tersebut dapat menciptakan lingkungan yang ramah anak, yaitu membuat suasana yang
aman, nyaman, sehat dan kondusif, menerima anak apa adanya, dan menghargai
potensi anak. Dengan demikian anak bukan lagi sebagai obyek dalam pendidikan
namun sebagai subyek, anak bebas berkreasi dalam belajar dengan suasana
lingkungan pendidikan yang penuh dengan kasih sayang. Berkaitan dengan hal tersebut, pendidikan ramah anak
di SDIT Nur Hidayah Surakarta meliputi; Ramah Fisik, Ramah Non Fisik, Kegiatan Pembelajaran
di dalam kelas, dan Kegiatan Pembelajaran di luar kelas.
Daftar Pustaka
Abdullah Nashih
Ulwan.1993. Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam jilid satu. Semarang: CV
AsySyifa.
Abdullah Nashih
Ulwan.1994. Pendidikan Anak Dalam Islam edisi 2.Jakarta:Pustaka
Amani.
Abdul Rahman
Assegaf.2004. Pendidikan Tanpa Kekerasan. Jogjakarta: Tiara Wacana.
Ahmad Sutanto.2013.Teori Belajar & Pembelajaran di Sekolah Dasar.Jakarta:Prenada
Media Group.
Arismantoro.2008.Character Building: Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter.Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Bashori Muchsin,dkk.2010.Pendidikan Islam Humanistik:
Alternatif Pendidikan Pembebasan Anak. Bandung:RefikaAditama.
Barbara Coloroso. 2007. Stop Bullying. Jakarta:
PT IkrarMandiriabadi.
Darmaningtyas .2004.Pendidikan yang memiskinkan.Yogyakarta :Galang Press.
Dedi Mulyasana.2011.Pendidikan
Bermutu dan Berdaya Saing.Bandung : Rosdakarya.
Depdiknas.2003.Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional .
Jakarta :Pusat Data dan Informasi Pendidikan
Eveline Siregar & Hartini
Nara.2010.Teori Belajar & Pembelajaran.Bogor:Ghalia Indonesia.
Gavin Reid. 2007.Memotivasi siswa di kelas
Gagasan dan Strategi.Jakarta: Indeks.
Haryanto Al-Fandi.2011.DesainPembelajaran yang
DemokratisdanHumanis.Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Ibrahim Amini.2006.Agartaksalahmendidik.Jakarta:
Al-Huda.
John Holt.2012.Bagaimana
SiswaBelajar.Jakarta:PTGeloraAksaraPratama.
Kunandar.2011.Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru.Jakarta:Rajawali Press.
Kristanto, Ismatul Khasanahdan
Mila Karmila.2011.Identifikasi model sekolah ramah anak (sra) jenjang satuan pendidikan anak usia dini se-kecamatan Semarang selatan.JurnalPenelitian PAUDIA, Volume 1 No. 1.e-jurnal.ikippgrismg.ac.id
.
Lexy J. Moleong.2011.Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.RemajaRosdakarya.
Maria
UlfahAnshor& Abdullah Ghalib. 2010.Parenting With Love. Panduan Islami mendidik
anak penuh cinta dan kasih sayang.Bandung
: PT MizanPustaka.
Meicky Shoreamanis
Panggabean.2013.Menjadi Guru Itu Mengasyikkan!.Jakarta : Indeks.
Milles,Mathew
B and Huberman, A.Michail.1992.Analisis Data Kualitatif.Jakarta:
Universitas Indonesia.
Moh.Sholeh
Hamid. 2011.Metode Edutainment. Jogjakarta: Diva Press.
Muhammad Nur Abdul Hafizh
Suwaid.2009.Prophetic Parenting Cara Nabi Mendidik Anak Jogjakarta :
Pro-U Media.
Munif Chatib.2011.Gurunya
Manusia .Bandung :PTMizanPustaka.
Munif Chatib.2012.Orang
tuanya Manusia.Badung:PTMizanPustaka.
Munif Chatib.2012.Sekolahnya
Manusia.Bandung:PTMizanPustaka.
MunifChatib&Alamsyah
Said.2012.Sekolahanak-anakjuara.Bandung :PTMizanPustaka.
M.
Sastrapratedja.2003.Pembangunan Pendidikan Berwawasan Kemanusiaan., Dalam Masa
depan kemanusiaan. Yogyakarta: Jendela,
Newell, Peter. 2005.The
Human Rights Imperative for Ending All Corporal Punishment of Children.
Eliminating Corporal Punishment: The Way Forward to Constructive Child
Discipline. Paris: UNESCO Publishing.
Ngadiyo.
2013.”Homeschooling, Melejitkan Potensi Anak.” Majalah Embun, Edisi
49-V-Rajab 1434.Mei 2013, hlm 18.
NgainumNaimdanAchmadSauqi.2010. Pendidikan
Multikultural Konsep dan Aplikasi.Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Norman K.Denzin&Yvonna
S.Lincoln.2009. Handbook of
Qualilative Research.
Yogyakarta: PustakaPelajar.
NovanArdy
Wiyani.2012. Save Our Children from School Bullying. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media.
Rohinah M.Noor.2012.Mengembangkan Karakter Anak Secara Efektif di Sekolah dan di Rumah.
Yogyakarta : Pedagogia.
Sardiman
A.M.2012.Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar.Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada.
UU No.23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 2010. Bandung: Refika Aditama.
UmmuShofi.2007.Agar Cahaya Mata Makin Bersinar.Surakarta:
Indiva.
W.J.S.
Poerdarminta. 1985.Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
http://www.infojawatengah.com/di-solo-ada-sekolah-ramah-anak/Tuesday, April 16th, 2013
http://www.jawapos.com/23/07/09/Chabib
Mustofa, Belajar Ramah KepadaAnak
Htttp//www.
unicef.org/040809./child_friendly_school_manual/
No comments:
Post a Comment