Tuesday, November 26, 2013

Catatan Perjalananku



                            Temu Wilayah se-Jateng DIY MITI Clusster Mahsasiswa di UNNES

Tepatnya tanggal 23 – 24 November 2013, Sabtu & Minggu Aku dan dua adik tingkat menghadiri acara temu wilayah masyarakat Ilmuwan & Teknolog Indonesia bertempat di Universitas Negeri Semarang (UNNES), Gunung Pati, Ungaran, Semarang. Kegiatan ini merupakan program dari MITI yang diadakan setiap setahun sekali yang merupakan perkumpulan kelompok study tingkat universitas, untuk di IAIN Surakarta sendiri belum ada kelompok studi oleh karena itu masih dalam naungan BEM IAIN Surakarta di bawah Kementrian Riset & Teknologi, Agus Yulianto selaku menterinya.  Agenda di temu ilmiah ini sangat menarik sekali karna agenda ini merupakan wadah para ilmuwan-ilmuwan muda yang kedepannya bisa memberikan kontribusi untuk mengembangkan Indonesia.  Begitu banyak materi yang di paparkan oleh narasumber mengenai kondisi Negara kita. Kegiatan ini di isi dengan seminar dan diskusi dimana kita sebagai seorang mahasiswa bisa memberikan suatu karya yang nyata melalui lembaga kampus yang kita miliki. Pada kesempatan ini saya mengajak teman2 dari FORDISTA Fak. Ilmu Tarbiyah & Keguruan, Farid Mustofa, Selaku Ketua periode saat ini dan Faris selaku bidang PSDA. Harapan kita dari temu ilmiah ini dapat membuka cakrawala dan menambah jaringan untuk memajukan lembaga kampus tentunya.
Selain itu ada acara seminar nasional pendidikan yang mengangkat tema “ Pendidikan Berkualitas Membangun Daya Saing Bangsa” dengan narasumber Dr.Edi Suharyati yang merupakan lulusan dari Universitas di Jepang dan juga dosen UGM.  Beliau menempuh pendidikan dari jenjang S1 sampai S3 di Negara matahari terbit. Beliau begitu banyak memaparkan mengenai kemajuan pendidikan yang ada di Negara Sakura tersebut mulai dari pendidikan tingkat dasar sampai tingkat universitas. Salah satu hal yang menarik dari seminar tersebut adalah bahwa kemajuan pendidikan Negara Jepang salah satunya tidak ada perubahan di dalam kurikulum. Jadi di Negara Jepang kurikulum yang di pakai selama ini dari masa jadul sampai masa sekarang ini tidak ada perubahan hanya saja ada suatu modifikasi dalam pengolahan kurikulum tersebut. Selain itu jam terbang masyarakat Jepang sangat tinggi dalam menuntut ilmu.Meskipun sekolah tidak berseragam dan tingkat disiplinnya tinggi. Selain itu adanya dukungan penuh dari pemerintah untuk memajukan pendidikan, seperti penghargaan kepada para ilmuwan yang ada disana. Jadi para peneliti di jepang sangat diperhatikan sekali masalah kesejahteraan. Ketika mendengar pemaparan ini saya sempat berfikir “ Kapan Indonesia seperti Jepang?” hanya angan belaka.
Kegiatan ini dihadiri sekitar 17 kampus seJateng & DIY seperti UGM, UMY, UIN Sunan Kalijaga,UNS, IAIN Surakarta, UNDIP, IKIP PGRI Semarang, UNNES, AMIKOM Yogyakarta, UNSOED Purwokerto dll.  Acaranya sangat menarik dan kita mendapatkan jaringan untuk bertukar pikiran dan informasi. Supaya tali silahturhami ini tetap berjalan maka saya buatkan group buat teman2 alumni temu wil. Jateng DIY dengan nama ALUMNI TEMWIL JATENG DIY MITI harapannya dari group ini kita bisa sharing dan tukar informasi. 
Ketika mengikuti acara ini ada satu moment yang membuat diri ini merinding hamper meneteskan air mata, ketika itu ada acara diskusi bersama pakar Pendidikan luar Biasa, Drs. Sucipto yang merupakan kepala sekolah SLB N Semarang. Kebetulan beliau ini alumni dari pendidikan lar biasa UNY dan aku juga sempat membaca buku beliau yang saat itu aku temukan di perpustakaan IAIN Ska Pusat. Beliau hadir tidak sendirian akan tetapi bersama anak-anak didiknya. Mereka merupakan anak luar biasa. Beliau sempat mengatakan “ Kami dating dan hadir disini bukan untuk dikasihani akan tetapi kami dating di sini supaya memberikan inspirasi untu kalian semua”. Ketika Pak Sucipto mengenalkan salah satu anak didiknya yang bernama Bakhul membuat kami semua tersentak dengan sedikit cerita mengenai latar belakang anak tersebut. Anaknya itu tinggi besar wajahnya sungguh sangat menawan bagi siapa saja yang melihatnya dan dia memiliki kelebihan menyanyi denga suara yang sangat merdu sekali. Akan tetapi, si Bakhul ini anak yang memiliki kekurangan dari segi angka. Dia lemah dalam berfikir terkait hitung-hitungan bahkan menghitung uang sekalipun tidak tidak bisa. Ada satu lagi anak yang menginspirasi saya Karisma seorang anak yang memiliki kelebihan luar biasa sejak usia lima tahun ketika ingin bersekolah di tempat umum begitu banyak yang menolak dikarenakan anak ini berbeda perilakunya dengan yang lainnya hiperaktif. Akan tetapi, anak ini memiliki kecerdasan multiple intelegence yang sungguh luar biasa. Prestasinya begitu lar biasa. Dia satu-satunya pemain drum katagori anak autis se-dunia yang berhasil memecahkan rekor muri dan juga vokalis terbaik katagori anak autis sed-dunia. Selain itu dia juga memecahkan rekor muri dengan menghafal ratusan lagu. Aku hanya mengucapkan SubhanaAllah..di balik kekurangan ada kelebihan. Ternyata segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak ada yang sempurna. Tanggal 1 desember 2013 mendatang mereka akan tampil di Metro TV acara Kick Andy. Merekan ada bukan untuk di hindari tapi mereka ada untuk di akui. Harapanku kedepannya aku bisa mengundang mereka ke kampusku.   Supaya civitas akademika dapat bersyukur dengan apa yang dimilikinya. Luar biasa!!.
                                    Karisma saat tampil nyanyi di Kick Andy
                                                    Cindy anak Autis memecah rekor MURI



Siswi Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Semarang Cindy Widhoretno memainkan alat musik drum, saat dilakukan pengujian oleh Museum Rekor Dunia-Indonesia. MURI memberikan penghargaan kepada Cindy untuk kategori "Anak Autis dengan Kemampuan Terbanyak" karena dinilai memiliki kemampuan dapat memainkan alat musik drum, gitar, keyboard, menari, melukis, dan memasak.
                  

Thursday, November 21, 2013

Artikel



Harmonisasi Perpustakaan, Pustakawan dan Masyarakat

 Berbicara mengenai kedekatan antara masyarakat dengan perpustakaan memang masih banyak yang perlu dibenahi. Hingga saat ini, minat masyarakat untuk berkunjung ke perpustakaan masih dikatakan rendah. Rendahnya minat berkunjung ke perpustakaan hampir selalu dikaitkan dengan rendahnya minat baca masyarakat. Selain itu rendahnya tingkat kunjungan masyarakat ke perpustakaan lebih disebabkan oleh penyelenggaraan perpustakaan yang terlalu kaku dan tidak adanya keselarasan antara kehadiran perpustakaan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Beberapa permasalahan tersebut disadari atau tidak disadari ternyata telah menyebabkan masyarakat terhambat untuk mendapatkan layanan dari perpustakaan. Sehingga fungsi perpustakaan yang seharusnya menjadi sumber belajar sepanjang hayat bagi masyarakat seakan terpenjara oleh akses layanan perpustakaan itu sendiri.
Peran dan Fungsi Pustakawan
Pustakawan merupakan suatu profesi yang kurang menarik dimata masyarakat, dimana profesi sebagai pustakawan hanya dianggap sebagai penjaga buku yang tidak tahu apa-apa. Masyarakat selalu mendiskripsikan bahwa pustakawan itu memiliki sikap acuh tak acuh dan tidak peduli terhadap pengguna hal ini menunjukan suatu citra yang buruk dimata masyarakat. Kadang orang yang bekerja di perpustakaan merasa kurang bangga dengan profesinya sebagai pustakawan. Mereka merasa bekerja karena nasib dan kebutulan, jadi ketika dalam melaksanakan pekerjaannya sehingga tidak optimal dan tidak sepenuh hati, puas atau tidak puas orang yang dilayaninya tidak menjadi persoalan bagi mereka.
Melihat persoalan tersebut sebagai seorang pustakawan sudah seharusnya kita perbaiki dari segi pelayanan sampai kemampuan yang harus dimiliki seorang pustakawan itu sendiri.
Menurut Soeatminah (1992), Kegiatan perpustakaan yang langsung dirasakan oleh masyarakat adalah pelayanan karena pelayanan merupakan ujung tombak perpustakaan. Di dalam memfasilitasi masyarakat tentunya  pustakawan perlu mengembangkan kemampuannya dalam berkomunikasi dengan pemustaka. Di samping itu juga perlu kemampuan menganalisa yang baik tentang berbagai hal yang terkait dengan permasalahan pemustaka. Dengan demikian, diharapkan dapat terbangun kedekatan antara perpustakaan dengan masyarakat di sekelilingnya.
Oleh karena itu, Pustakawan sebagai salah satu pendukung hidupnya perpustakaan dituntut untuk memiliki etika dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Menurut Bertens (2004:5) etika merupakan suatu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan oleh manusia atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dengan demikian etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak. Dalam hal ini, peran  pustakawan dalam memberikan layanan pada masyarakat harus menciptakan  suatu interaksi yang harmonis, suasana kerja yang kondusif dan yang tidak kalah pentingnya terciptanya suatu kesan yang positif dari masyarakat terhadap perpustakaan.
Untuk menjadikan pustakawan itu memiliki etika yang baik, Tronto (1994:127-130) mendiskripsikan beberapa hal antara lain; kepedulian sosial, tanggung jawab dan pengabdian. Dari ketiga hal tersebut sebagai pustakawan diharapkan dapat meningkatkan nilai empati dan simpati dari pemustaka, sehingga perpustakaan memiliki kesan yang positif dari segi pelayanan yang penuh perhatian, bertanggung jawab serta mudah tanggap dan memahami perkembangan informasi sebagaimana kebutuhan masyarakat yang sangat bervariatif.
Perlunya Harmonisasi
Pustakawan sebagai pengelola perpustakaan merupakan bagian dari masyarakat. Posisi masyarakat tidak bisa diabaikan oleh pustakawan. UU no 43 tahun 2007 telah menyatakan hal tersebut. Dalam Undang Undang tersebut pasal 1 ayat 5, 6, 7 dikatakan fungsi perpustakaan dan pengertian perpustakaan baik perpustakaan umum maupun perpustakaan khusus, dan dikatakan pada ayat 16 bahwa Menteri yang terkait adalah menteri pendidikan.
Dengan demikian sudah jelas bahwa Perpustakaan adalah bagian dari pendidikan dan tidak terpisahkan. Berarti masyarakat wajib memanfaatkan sebaik mungkin keberadaan perpustakaan, begitu juga sebaliknya. Bahwa penyelenggara perpustakaan wajib memberikan layanan yang terbaik bagi masyarakat, bukan saja kepada pengguna tapi kepada masyarakat yang belum paham, belum menjadi pengguna untuk memanfaatkan  perpustakaan.
Pustakawan harus menyadari betul bahwa pengguna perpustakaan dalam hal ini masyarakat merupakan aset yang sangat berharga dalam pengembangan jasa layanan. Pelayanan yang baik akan memberikan dampak kepuasan tersendiri bagi masyarakat, sehingga citra lembaga perpustakaan akan meningkat.
 Pentingnya sebuah pelayanan perpustakaan, bukan di ukur dari melimpahnya koleksi yang ada di perpustakaan dan bukan pula canggihnya sebuah teknologi akan tetapi,sikap ramah, bersahabat, menghargai orang lain yang di tunjukan oleh pustakawan kepada masyarakat (pemustaka).untuk mewujudkan hal tersebut perlu adanya harmonisasi antara lembaga perpustakaan, pustakawan beserta masyarakat. ( Di muat di majalah Respon edisi Oktober 2013)

Pidato Wisudawan Terbaik, Memukau tetapi Sekaligus “Menakutkan”

         Setiap acara wisuda di kampus ITB selalu ada pidato sambutan dari salah seorang wisudawan. Biasanya yang terpilih memberikan pidato sambutan adalah pribadi yang unik, tetapi tidak selalu yang mempunyai IPK terbaik. Sepanjang yang saya pernah ikuti, isi pidatonya kebanyakan tidak terlalu istimewa, paling-paling isinya kenangan memorabilia selama menimba ilmu di kampus ITB, kehidupan mahasiswa selama kuliah, pesan-pesan, dan ucapan terima kasih kepada dosen dan teman-teman civitas academica.
Namun, yang saya tulis dalam posting-an ini bukan pidato wisudawan ITB, tetapi wisudawan SMA di Amerika. Beberapa hari yang lalu saya menerima kiriman surel dari teman di milis dosen yang isinya cuplikan pidato Erica Goldson (siswi SMA) pada acara wisuda di Coxsackie-Athens High School, New York, tahun 2010. Erica Goldson adalah wisudawan yang lulus dengan nilai terbaik pada tahun itu. Isi pidatonya sangat menarik dan menurut saya sangat memukau. Namun, setelah saya membacanya, ada rasa keprihatinan yang muncul (nanti saya jelaskan).Cuplikan pidato ini dikutip dari tulisan di blog berikut: http://pohonbodhi.blogspot.com/2010/09/you-are-either-with-me-or-against-me.html
“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.
Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap berikut yang diharapkan kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.
Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.
Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?
Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….”
Hmmm… setelah membaca pidato wisudawan terbaik tadi, apa kesan anda? Menurut saya pidatonya adalah sebuah ungkapan yang jujur, tetapi menurut saya kejujuran yang “menakutkan”. Menakutkan karena selama sekolah dia hanya mengejar nilai tinggi, tetapi dia meninggalkan kesempatan untuk mengembangkan dirinya dalam bidang lain, seperti hobi, ketrampilan, soft skill, dan lain-lain. Akibatnya, setelah dia lulus dia merasa gamang, merasa takut terjun ke dunia nyata, yaitu masyarakat. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, dia sendiri tidak tahu apa yang dia inginkan di dalam hidup ini.
Saya sering menemukan mahasiswa yang hanya berkutat dengan urusan kuliah semata. Obsesinya adalah memperoleh nilai tinggi untuk semua mata kuliah. Dia tidak tertarik ikut kegiatan kemahasiswaan, baik di himpunan maupun di Unit Kegiatan Mahasiswa. Baginya hanya kuliah, kuliah, dan kuliah. Memang betul dia sangat rajin, selalu mengerjakan PR dan tugas dengan gemilang. Memang akhirnya IPK-nya tinggi, lulus cum-laude pula. Tidak ada yang salah dengan obsesinya mengejar nilai tinggi, sebab semua mahasiswa seharusnya seperti itu, yaitu mengejar nilai terbaik untuk setiap kuliah. Namun, untuk hidup di dunia nyata seorang mahasiswa tidak bisa hanya berbekal nilai kuliah, namun dia juga memerlukan ketrampilan hidup semacam soft skill yang hanya didapatkan dari pengembangan diri dalam bidang non-akademis.
Nah, kalau mahasiswa hanya berat dalam hard skill dan tidak membekali dirinya dengan ketrampilan hidup, bagaimana nanti dia siap menghadapi kehidupan dunia nyata yang memerlukan ketrampilan berkomunikasi, berdiplomasi, hubungan antar personal, dan lain-lain. Menurut saya, ini pulalah yang menjadi kelemahan alumni ITB yang disatu sisi sangat percaya diri dengan keahliannya, namun lemah dalam hubungan antar personal. Itulah makanya saya sering menyemangati dan menyuruh mahasiswa saya ikut kegiatan di Himpunan mahasiswa dan di Unit-Unit Kegiatan, agar mereka tidak menjadi orang yang kaku, namun menjadi orang yang menyenangkan dan disukai oleh lingkungan tempatnya bekerja dan bertempat tinggal. Orang yang terbaik belum tentu menjadi orang tersukses, sukses dalam hidup itu hal yang lain lagi.
Menurut saya, apa yang dirasakan wisudawan terbaik Amerika itu juga merupakan gambaran sistem pendidikan dasar di negara kita. Anak didik hanya ditargetkan mencapai nilai tinggi dalam pelajaran, karena itu sistem kejar nilai tinggi selalu ditekankan oleh guru-guru dan sekolah. Jangan heran lembaga Bimbel tumbuh subur karena murid dan orangtua membutuhkannya agar anak-anak mereka menjadi juara dan terbaik di sekolahnya. Belajar hanya untuk mengejar nilai semata, sementara kreativitas dan soft skill yang penting untuk bekal kehidupan terabaikan. Sistem pendidikan seperti ini membuat anak didik tumbuh menjadi anak “penurut” ketimbang anak kreatif.
Baiklah, pada bagian akhir tulisan ini saya kutipkan teks asli (dalam Bahasa Inggris) Erica Goldson di atas agar kita memahami pidato lengkapnya. Teks asli pidatonya dapat ditemukan di dalam laman web ini: Valedictorian Speaks Out Against Schooling in Graduation Speech .
Valedictorian Speaks Out Against Schooling in Graduation Speech
by Erica Goldson
Here I stand
There is a story of a young, but earnest Zen student who approached his teacher, and asked the Master, “If I work very hard and diligently, how long will it take for me to find Zen? The Master thought about this, then replied, “Ten years.” The student then said, “But what if I work very, very hard and really apply myself to learn fast – How long then?” Replied the Master, “Well, twenty years.” “But, if I really, really work at it, how long then?” asked the student. “Thirty years,” replied the Master. “But, I do not understand,” said the disappointed student. “At each time that I say I will work harder, you say it will take me longer. Why do you say that?” Replied the Master, “When you have one eye on the goal, you only have one eye on the path.”
This is the dilemma I’ve faced within the American education system. We are so focused on a goal, whether it be passing a test, or graduating as first in the class. However, in this way, we do not really learn. We do whatever it takes to achieve our original objective.
Some of you may be thinking, “Well, if you pass a test, or become valedictorian, didn’t you learn something? Well, yes, you learned something, but not all that you could have. Perhaps, you only learned how to memorize names, places, and dates to later on forget in order to clear your mind for the next test. School is not all that it can be. Right now, it is a place for most people to determine that their goal is to get out as soon as possible.
I am now accomplishing that goal. I am graduating. I should look at this as a positive experience, especially being at the top of my class. However, in retrospect, I cannot say that I am any more intelligent than my peers. I can attest that I am only the best at doing what I am told and working the system. Yet, here I stand, and I am supposed to be proud that I have completed this period of indoctrination. I will leave in the fall to go on to the next phase expected of me, in order to receive a paper document that certifies that I am capable of work. But I contend that I am a human being, a thinker, an adventurer – not a worker. A worker is someone who is trapped within repetition – a slave of the system set up before him. But now, I have successfully shown that I was the best slave. I did what I was told to the extreme. While others sat in class and doodled to later become great artists, I sat in class to take notes and become a great test-taker. While others would come to class without their homework done because they were reading about an interest of theirs, I never missed an assignment. While others were creating music and writing lyrics, I decided to do extra credit, even though I never needed it. So, I wonder, why did I even want this position? Sure, I earned it, but what will come of it? When I leave educational institutionalism, will I be successful or forever lost? I have no clue about what I want to do with my life; I have no interests because I saw every subject of study as work, and I excelled at every subject just for the purpose of excelling, not learning. And quite frankly, now I’m scared.
John Taylor Gatto, a retired school teacher and activist critical of compulsory schooling, asserts, “We could encourage the best qualities of youthfulness – curiosity, adventure, resilience, the capacity for surprising insight simply by being more flexible about time, texts, and tests, by introducing kids into truly competent adults, and by giving each student what autonomy he or she needs in order to take a risk every now and then. But we don’t do that.” Between these cinderblock walls, we are all expected to be the same. We are trained to ace every standardized test, and those who deviate and see light through a different lens are worthless to the scheme of public education, and therefore viewed with contempt.
H. L. Mencken wrote in The American Mercury for April 1924 that the aim of public education is not “to fill the young of the species with knowledge and awaken their intelligence. … Nothing could be further from the truth. The aim … is simply to reduce as many individuals as possible to the same safe level, to breed and train a standardized citizenry, to put down dissent and originality. That is its aim in the United States.”
To illustrate this idea, doesn’t it perturb you to learn about the idea of “critical thinking?” Is there really such a thing as “uncritically thinking?” To think is to process information in order to form an opinion. But if we are not critical when processing this information, are we really thinking? Or are we mindlessly accepting other opinions as truth?
This was happening to me, and if it wasn’t for the rare occurrence of an avant-garde tenth grade English teacher, Donna Bryan, who allowed me to open my mind and ask questions before accepting textbook doctrine, I would have been doomed. I am now enlightened, but my mind still feels disabled. I must retrain myself and constantly remember how insane this ostensibly sane place really is.
And now here I am in a world guided by fear, a world suppressing the uniqueness that lies inside each of us, a world where we can either acquiesce to the inhuman nonsense of corporatism and materialism or insist on change. We are not enlivened by an educational system that clandestinely sets us up for jobs that could be automated, for work that need not be done, for enslavement without fervency for meaningful achievement. We have no choices in life when money is our motivational force. Our motivational force ought to be passion, but this is lost from the moment we step into a system that trains us, rather than inspires us.
We are more than robotic bookshelves, conditioned to blurt out facts we were taught in school. We are all very special, every human on this planet is so special, so aren’t we all deserving of something better, of using our minds for innovation, rather than memorization, for creativity, rather than futile activity, for rumination rather than stagnation? We are not here to get a degree, to then get a job, so we can consume industry-approved placation after placation. There is more, and more still.
The saddest part is that the majority of students don’t have the opportunity to reflect as I did. The majority of students are put through the same brainwashing techniques in order to create a complacent labor force working in the interests of large corporations and secretive government, and worst of all, they are completely unaware of it. I will never be able to turn back these 18 years. I can’t run away to another country with an education system meant to enlighten rather than condition. This part of my life is over, and I want to make sure that no other child will have his or her potential suppressed by powers meant to exploit and control. We are human beings. We are thinkers, dreamers, explorers, artists, writers, engineers. We are anything we want to be – but only if we have an educational system that supports us rather than holds us down. A tree can grow, but only if its roots are given a healthy foundation.
For those of you out there that must continue to sit in desks and yield to the authoritarian ideologies of instructors, do not be disheartened. You still have the opportunity to stand up, ask questions, be critical, and create your own perspective. Demand a setting that will provide you with intellectual capabilities that allow you to expand your mind instead of directing it. Demand that you be interested in class. Demand that the excuse, “You have to learn this for the test” is not good enough for you. Education is an excellent tool, if used properly, but focus more on learning rather than getting good grades.
For those of you that work within the system that I am condemning, I do not mean to insult; I intend to motivate. You have the power to change the incompetencies of this system. I know that you did not become a teacher or administrator to see your students bored. You cannot accept the authority of the governing bodies that tell you what to teach, how to teach it, and that you will be punished if you do not comply. Our potential is at stake.
For those of you that are now leaving this establishment, I say, do not forget what went on in these classrooms. Do not abandon those that come after you. We are the new future and we are not going to let tradition stand. We will break down the walls of corruption to let a garden of knowledge grow throughout America. Once educated properly, we will have the power to do anything, and best of all, we will only use that power for good, for we will be cultivated and wise. We will not accept anything at face value. We will ask questions, and we will demand truth.
So, here I stand. I am not standing here as valedictorian by myself. I was molded by my environment, by all of my peers who are sitting here watching me. I couldn’t have accomplished this without all of you. It was all of you who truly made me the person I am today. It was all of you who were my competition, yet my backbone. In that way, we are all valedictorians.
I am now supposed to say farewell to this institution, those who maintain it, and those who stand with me and behind me, but I hope this farewell is more of a “see you later” when we are all working together to rear a pedagogic movement. But first, let’s go get those pieces of paper that tell us that we’re smart enough to do so!
~~~~~~~~~~
Pidato Erica tersebut juga dimuat di blog America dan mendapat tanggapan luas oleh publik di sana. Silakan baca di sini: http://americaviaerica.blogspot.com/2010/07/coxsackie-athens-valedictorian-speech.html

Saturday, November 9, 2013

Artikel



           
Mewacanakan Pendidikan Ramah Anak
Oleh : Agus Yulianto
Mahasiswa IAIN Surakarta
                             

Dalam beberapa hari terakhir ini media massa, baik media cetak maupun elektronik gencar memberitakan tentang kekerasan yang terjadi di sekolah, khususnya bullying (kekerasan) yang dilakukan oleh siswa maupun guru.  Kekerasan yang dilakukan tersebut telah keluar dari nilai-nilai kemanusian dan mencoreng tujuan mulia pendidikan.
Tragedi kekerasan yang berujung pada penahanan pelaku bullying  telah mencoreng dunia pendidikan Indonesia. Betapa tidak, sekolah yang seharusnya dijadikan sebagai tempat untuk menanamkan nilai-nilai akhlakul karimah (pendidikan budi pekerti) dan juga untuk menanamkan nilai-nilai karakter, telah dinodai oleh perbuatan-perbuatan yang tidak bertangungjawab dan tidak memahami arti dari sebuah proses pendidikan.


Dalam hal ini bukan hanya sekolah sebagai istitusi  pendidikan yang namanya akan tercemar, kepala sekolah, guru, siswa bahkan orang tua pelaku juga akan menjadi jelek di mata masyarakat. Kekerasan di sekolah atas nama apapun seharusnya tidak terjadi.
Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk ; pertama, kekerasan dalam bentuk sederhana atau bersifat spontanitas, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, seperti menempeleng atau meninju seseorang secara spontan akibat marah atau emosi yang tidak terkendali; dan kedua, kekerasan yang terkoordinir atau terencana, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak seperti yang terjadi dalam perang ( yakni kekerasan antarmasyarakat ) dan terorisme ( Bashori, 2010: 69-70 ).
Sementara itu, di dalam bukunya, Lee Parsons menjelaskan hal lain berkaitan dengan kekerasan di sekolah yang di hubungkan dengan istilah intimidasi. Kita tahu bahwa semua sekolah memiliki masalah dengan  perilaku intimidasi dari siswa. Setiap sekolah diwabahi penyakit-penyakit penganiayaan fisik, intimidasi dalam suatu hubungan, intimidasi via computer, ejekan-ejekan yang kejam, gossip yang tidak benar, pengucilan, sentuhan seksual yang tak kehendaki, serta ancaman dan paksaan ( Muhammad Rifa’I, 2011: 192 ).
Sementara, menurut Marcoes, setidaknya ada beberapa hal yang bisa menjelaskan pola kekerasan bila menggunakan analisis gender. Pertama, kekerasan hanya terjadi manakala ada ketimpangan relasi. Misalnya, kekerasan perbedaan ras, antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas, antara orang tua/dewasa dan anak-anak, antara guru dan murid , lelaki dan perempuan, serta perempuan dewasa/kakak kelas dan perempuan lebih muda/adik kelas. Kedua, kekerasan selalu berangkat dari adanya stereotipe tentang korban. Misalnya, dalam relasi warga kulit putih dan kulit hitam, kekerasan berangkat dari suburnya anggapan bahwa orang-orang kulit hitam adalah pelaku criminal, penjahat, pengedar narkoba, dan pembuat keonaran. Adanya anggapan itu membuat warga kulit putih merasa punya legitimasi melakukan tindakan kekerasan .
Tanpa adanya legitimasi yang dijadikan dasar pembenaran dari tindakan itu, kekerasan sulit untuk terjadi. Dalam konteks kekerasan pada murid sekolah, stereotype yang dihidupkan pasti seputar tingkah laku adik kelasnya yang dinilai “ sok tahu”, sombong, tak sopan, melawan, dan tak mau diatur oleh kakak kelas.
Dengan alasan itulah, kakak kelas merasa punya legitimasi mengajari adik kelasnya. Dengan cara mengajari ini, kelak diharapkan si adik bisa tunduk. Jika tidak tunduk, yang terjadi lebih gawat. Itulah ciri kekerasan ketiga, yaitu meningkatnya bentuk kekerasan.
Memang ironis ternyata lembaga pendidikan nasional kita masih belum meminimalisi terjadinya kekerasan di sekolah. Beberapa penelitian menyebutkan di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta sebagai kota yang sering terjadi tindak kekerasan di lingkup sekolah.Dan akhir-akhir ini yang sering di soroti oleh media tindak kekerasan yang terjadi di beberapa sekolah/madrasah yang ada di kota Solo. Kalau kita ketahui data dari hasil penelitian LSM perlindungan anak menyebutkan bahwasannya kekerasan terhadap anak paling tinggi dilakukan dalam lembaga pendidikan. Menurut ketua  Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak)  Arist Merdeka Sirait menyatakan kasus kekerasan seksual terhadap anak marak terjadi di sekolah. "Persentasenya nomor dua setelah rumah," Kesimpulan tersebut ia dapat dari data kasus aduan kekerasan terhadap anak selama 2012. Dari 2.637 aduan yang masuk, sekitar 60 persennya merupakan kasus kekerasan seksual ( Tempo, Senin, 4 Maret 2013).
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat tahun 2012 kemarin terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap anak di sekolah hingga lebih dari 10 persen. Wakil Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)  Apong Herlina mengatakan kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah terjadi dalam berbagai jenis baik itu dilakukan oleh guru  maupun antar siswa. Kasus kekerasan itu juga terjadi merata hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Catatan ini didasarkan pada hasil survey KPAI di 9 propinsi terhadap lebih dari 1000 orang siswa siswi. Baik dari tingkat Sekolah Dasar/MI, SMP/mts, maupun SMA/ma. Survey ini menunjukan 87,6% siswa mengaku mengalami tindak kekerasan. Baik kekerasan fisik maupun psikis, seperti dijewer, dipukul, dibentak, dihina, diberi stigma negatif hingga dilukai dengan benda tajam. Dan sebaliknya 78,3 persen anak juga  mengaku pernah melakukan tindak kekerasan dari bentuk yang ringan sampai yang berat (komnaspa.or.id)
Kebijakan Sekolah Ramah Anak
Merujuk pada hasil riset dari KPAI tersebut menunjukkan bahwa sekolah hingga detik ini belum bisa menjadi tempat yang ramah bagi anak (siswa). Karena, meskipun disebut sebagai lembaga pendidikan, akan tetapi kekerasan justru sering lahir dari tempat ini. Hal tersebut tentu sangat kontraproduktif dengan makna sekolah itu sendiri, yaitu sebagai tempat untuk belajar, bukan tempat untuk melakukan kekerasan. 
Sekolah seharusnya menjadi tempat yang begitu menyenangkan bagi anak, karena di lembaga pendidikan inilah anak-anak akan di didik untuk saling mengenal, menyayangi satu dengan yang lain bukan untuk bermusuhan atau saling menindas. Dalam hal ini siswa senior harus dapat membimbing dan mengarahkan juniornya menjadi lebih baik. Sebaliknya siswa junior juga harus bisa menghargai dan menghormati seniornya. Disinilah peran guru sangat menentukan dalam menciptakan keharmonisan hubungan antar siswa tersebut.
Dengan melihat kondisi tersebut pemerintah agar segera menerbitkan kebijakan sekolah ramah anak di seluruh sekolah di Indonesia. Sehingga kedepan sekolah tidak hanya menjadi lembaga yang berorientasi pada pencapaian target kurikulum tapi penyelenggaraannya juga menghormati HAM dan prinsip perlindungan anak.
Menurut analisis penulis tindakan kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya karena kondisi sekolah yang kurang nyaman dan juga kurikulum sekolah.  Untuk itulah kurikulum 2013 diharapkan dapat menciptakan lingkungan sekolah yang lebih ramah anak. Makanya kurikulum tahun 2013 ini, nanti akan bisa menjadi semacam titik tumpu awal untuk secara komprehensif menata bagaimana kita menghadapi satu kultur baru dimana anak-anak harus sadar tentang haknya, sadar tentang harus menghargai kepada orang lain dan sadar untuk tidak melakukan tindak kekerasan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, banyak hal yang harus dipenuhi di antaranya selalu mengajak anak berpartisipasi dalam memutuskan setiap kebijakan sekolah misalnya dalam hal penyusunan tata tertib sekolah atau jenis hukuman bila mereka melanggar. Selain itu, sarana dan prasarana yang ada di sekolahpun harus dipenuhi.
Pendidik juga mempunyai peran yang sangat signifikan, mereka harus mampu menjadi pendidik yang ramah terhadap  anak dan mampu  menjadi fasilitator yang baik bagi anak didiknya. Sementara anakpun harus dinilai sikap dan perilakunya ketika mereka berinteraksi dengan temannya pada saat istirahat.
Dimuat di Majalah RESPON



Tulisan Disukai Pembaca

Mengulas Buku Fiksi Antologi Cerpen Amygdala

  Amygdala Sebuah Proses Kehidupan www.agusyulianto.com   Judul Buku : Antologi Cerpen FLP Jawa Tengah Amygdala Penulis : Rahman Hanifan, ...