Mewacanakan
Pendidikan Ramah Anak
Oleh : Agus
Yulianto
Mahasiswa IAIN
Surakarta
Dalam beberapa hari terakhir ini
media massa, baik media cetak maupun elektronik gencar memberitakan tentang
kekerasan yang terjadi di sekolah, khususnya bullying (kekerasan)
yang dilakukan oleh siswa maupun guru. Kekerasan yang dilakukan tersebut telah keluar
dari nilai-nilai kemanusian dan mencoreng tujuan mulia pendidikan.
Tragedi kekerasan yang berujung
pada penahanan pelaku bullying telah mencoreng dunia
pendidikan Indonesia. Betapa tidak, sekolah yang seharusnya dijadikan sebagai
tempat untuk menanamkan nilai-nilai akhlakul karimah (pendidikan
budi pekerti) dan juga untuk menanamkan nilai-nilai karakter, telah dinodai
oleh perbuatan-perbuatan yang tidak bertangungjawab dan tidak memahami arti
dari sebuah proses pendidikan.
Dalam hal ini bukan hanya sekolah
sebagai istitusi pendidikan yang namanya akan tercemar, kepala
sekolah, guru, siswa bahkan orang tua pelaku juga akan menjadi jelek di mata
masyarakat. Kekerasan di sekolah atas nama apapun seharusnya tidak terjadi.
Kekerasan pada dasarnya tergolong
ke dalam dua bentuk ; pertama, kekerasan dalam bentuk sederhana atau bersifat
spontanitas, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak
terencanakan, seperti menempeleng atau meninju seseorang secara spontan akibat
marah atau emosi yang tidak terkendali; dan kedua, kekerasan yang terkoordinir
atau terencana, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak
maupun tidak seperti yang terjadi dalam perang ( yakni kekerasan
antarmasyarakat ) dan terorisme ( Bashori, 2010: 69-70 ).
Sementara itu, di dalam bukunya,
Lee Parsons menjelaskan hal lain berkaitan dengan kekerasan di sekolah yang di
hubungkan dengan istilah intimidasi. Kita tahu bahwa semua sekolah
memiliki masalah dengan perilaku
intimidasi dari siswa. Setiap sekolah diwabahi penyakit-penyakit penganiayaan
fisik, intimidasi dalam suatu hubungan, intimidasi via computer, ejekan-ejekan
yang kejam, gossip yang tidak benar, pengucilan, sentuhan seksual yang tak
kehendaki, serta ancaman dan paksaan ( Muhammad Rifa’I, 2011: 192 ).
Sementara, menurut Marcoes,
setidaknya ada beberapa hal yang bisa menjelaskan pola kekerasan bila
menggunakan analisis gender. Pertama, kekerasan hanya terjadi manakala
ada ketimpangan relasi. Misalnya, kekerasan perbedaan ras, antara kelompok
mayoritas dan kelompok minoritas, antara orang tua/dewasa dan anak-anak, antara
guru dan murid , lelaki dan perempuan, serta perempuan dewasa/kakak kelas dan
perempuan lebih muda/adik kelas. Kedua, kekerasan selalu berangkat dari
adanya stereotipe tentang korban. Misalnya, dalam relasi warga kulit
putih dan kulit hitam, kekerasan berangkat dari suburnya anggapan bahwa
orang-orang kulit hitam adalah pelaku criminal, penjahat, pengedar narkoba, dan
pembuat keonaran. Adanya anggapan itu membuat warga kulit putih merasa punya
legitimasi melakukan tindakan kekerasan .
Tanpa adanya legitimasi yang
dijadikan dasar pembenaran dari tindakan itu, kekerasan sulit untuk terjadi.
Dalam konteks kekerasan pada murid sekolah, stereotype yang dihidupkan
pasti seputar tingkah laku adik kelasnya yang dinilai “ sok tahu”, sombong, tak
sopan, melawan, dan tak mau diatur oleh kakak kelas.
Dengan alasan itulah, kakak kelas
merasa punya legitimasi mengajari adik kelasnya. Dengan cara mengajari ini,
kelak diharapkan si adik bisa tunduk. Jika tidak tunduk, yang terjadi lebih
gawat. Itulah ciri kekerasan ketiga, yaitu meningkatnya bentuk kekerasan.
Memang ironis ternyata lembaga
pendidikan nasional kita masih belum meminimalisi terjadinya kekerasan di
sekolah. Beberapa penelitian menyebutkan di beberapa kota besar, seperti
Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta sebagai kota yang sering terjadi tindak
kekerasan di lingkup sekolah.Dan akhir-akhir ini yang sering di soroti oleh
media tindak kekerasan yang terjadi di beberapa sekolah/madrasah yang ada di
kota Solo. Kalau kita ketahui data dari hasil penelitian LSM perlindungan anak
menyebutkan bahwasannya kekerasan terhadap anak paling tinggi dilakukan dalam
lembaga pendidikan. Menurut ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Arist Merdeka Sirait menyatakan kasus
kekerasan seksual terhadap anak marak terjadi di sekolah. "Persentasenya
nomor dua setelah rumah," Kesimpulan tersebut ia dapat dari data kasus
aduan kekerasan terhadap anak selama 2012. Dari 2.637 aduan yang masuk, sekitar
60 persennya merupakan kasus kekerasan seksual ( Tempo, Senin, 4 Maret
2013).
Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat tahun 2012 kemarin terjadi
peningkatan kasus kekerasan terhadap anak di sekolah hingga lebih dari 10
persen. Wakil Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Apong Herlina
mengatakan kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah terjadi dalam berbagai
jenis baik itu dilakukan oleh guru maupun antar siswa. Kasus kekerasan
itu juga terjadi merata hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Catatan
ini didasarkan pada hasil survey KPAI di 9 propinsi terhadap lebih dari 1000
orang siswa siswi. Baik dari tingkat Sekolah Dasar/MI, SMP/mts, maupun SMA/ma.
Survey ini menunjukan 87,6% siswa mengaku mengalami tindak kekerasan. Baik
kekerasan fisik maupun psikis, seperti dijewer, dipukul, dibentak, dihina,
diberi stigma negatif hingga dilukai dengan benda tajam. Dan sebaliknya 78,3
persen anak juga mengaku pernah melakukan tindak kekerasan dari bentuk
yang ringan sampai yang berat (komnaspa.or.id)
Kebijakan Sekolah Ramah Anak
Merujuk pada hasil riset dari KPAI
tersebut menunjukkan bahwa sekolah hingga detik ini belum bisa menjadi tempat
yang ramah bagi anak (siswa). Karena, meskipun disebut sebagai lembaga
pendidikan, akan tetapi kekerasan justru sering lahir dari tempat ini. Hal
tersebut tentu sangat kontraproduktif dengan makna sekolah itu sendiri, yaitu
sebagai tempat untuk belajar, bukan tempat untuk melakukan kekerasan.
Sekolah seharusnya menjadi tempat
yang begitu menyenangkan bagi anak, karena di lembaga pendidikan inilah
anak-anak akan di didik untuk saling mengenal, menyayangi satu dengan yang lain
bukan untuk bermusuhan atau saling menindas. Dalam hal ini siswa senior harus
dapat membimbing dan mengarahkan juniornya menjadi lebih baik. Sebaliknya siswa
junior juga harus bisa menghargai dan menghormati seniornya. Disinilah peran
guru sangat menentukan dalam menciptakan keharmonisan hubungan antar siswa
tersebut.
Dengan melihat kondisi tersebut pemerintah agar
segera menerbitkan kebijakan sekolah ramah anak di seluruh sekolah di
Indonesia. Sehingga kedepan sekolah tidak hanya menjadi lembaga yang
berorientasi pada pencapaian target kurikulum tapi penyelenggaraannya juga
menghormati HAM dan prinsip perlindungan anak.
Menurut analisis penulis tindakan kekerasan
yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya karena
kondisi sekolah yang kurang nyaman dan juga kurikulum sekolah. Untuk
itulah kurikulum 2013 diharapkan dapat menciptakan lingkungan sekolah yang
lebih ramah anak. Makanya kurikulum tahun 2013 ini, nanti akan bisa menjadi
semacam titik tumpu awal untuk secara komprehensif menata bagaimana kita
menghadapi satu kultur baru dimana anak-anak harus sadar tentang haknya, sadar
tentang harus menghargai kepada orang lain dan sadar untuk tidak melakukan
tindak kekerasan.
Untuk mewujudkan hal tersebut,
banyak hal yang harus dipenuhi di antaranya selalu mengajak anak berpartisipasi
dalam memutuskan setiap kebijakan sekolah misalnya dalam hal penyusunan tata
tertib sekolah atau jenis hukuman bila mereka melanggar. Selain itu, sarana dan
prasarana yang ada di sekolahpun harus dipenuhi.
Pendidik juga mempunyai peran yang
sangat signifikan, mereka harus mampu menjadi pendidik yang ramah
terhadap anak dan mampu menjadi fasilitator yang baik
bagi anak didiknya. Sementara anakpun harus dinilai sikap dan perilakunya
ketika mereka berinteraksi dengan temannya pada saat istirahat.
Dimuat di Majalah RESPON
Dimuat di Majalah RESPON
No comments:
Post a Comment