Perginya Seorang Sahabat
Agus Yulianto
Sore itu ketika hujan aku dan Anton makan
bakso di pinggiran jalan depan sekolah. Bakso Kang Iman memang terkenal enak
selain itu juga harga bersahabat. Bakso Idola memang menjadi idola anak-anak
SMK Sakti. Ketika jam istirahat kios yang berukuran 4 m x 7 m sesak dipenuhi
siswa SMK Sakti. Bahkan ada yang rela duduk di trotoar pinggir jalan demi
menikmati semangkuk bakso yang seharga lima ribu rupiah itu. Bakso Idola buka
hingga sore hari. Aku dan Anton sudah janjian usai pulang sekolah akan
mentraktirnya sebab minggu lalu ia sudah mentraktirku.
Aku dan Anton sudah bersahabat sejak duduk di
bangku SMP meski tidak satu kampung. Anton anak dari keluarga yang mapan.
Ayahnya pengusaha Pabrik Sepatu sedangkan ibunya memiliki butik. Uang lima ribu
rupiah bagi Anton tidak ada apa-apanya. Kadang aku malu ketika jajan selalu ia
yang bayar.
Sedangkan diriku hanyalah seorang anak yang
dilahirkan dari keluarga serba kekurangan. Aku sudah tidak memiliki ibu dan
ayah. Mereka sudah pergi meninggalkanku sejak kecil. Hingga saat ini aku tidak
tahu keberadaannya. Aku tinggal bersama paman yang bekerja sebagai buruh
serabutan. Pamanku tidak memiliki seorang anak, ia memperlakukanku seperti
anaknya sendiri.
“Setelah
lulus nanti kamu mau kuliah?” aku membuka percakapan sore itu.
“Ayah
memintaku untuk melanjutkan kuliah di Jakarta,” jawab Anton sambil mengunyah
baksonya.
Aku
hanya bisa membayangkan seandainya memiliki seorang ayah yang begitu peduli
pada anaknya. Betapa bahagianya aku.
“Kalau
kamu, Ndi?”
“Kemungkinan
aku akan bekerja di pabrik,” jawabku singkat sambil mata ini menatap sebuah
foto keluarga Kang Iman di dinding yang terlihat bahagia. Aku sekali lagi hanya
bisa membayangkan. Betapa bahagianya ketika memiliki keluarga yang utuh.
“Kenapa
kamu tidak kuliah? Padahal kamu selalu juara kelas,” tanya Anton sambil menatap
mataku.
Sebenarnya
aku tidak perlu menjelaskan alasan untuk tidak kuliah. Sebenarnya kamu paham
kondisiku saat ini. Untuk membuat lega hatimu maka akan ku jawab pertanyaanmu
yang membuat sesak dadaku ini.
“Kamu
tahu sendiri bagaimana kondisi keluarga pamanku saat ini. Tidak mungkin bagiku
untuk melanjutkan kuliah. Aku kasihan melihat pamanku yang bekerja seharian
demi menghidupi istrinya dan juga diriku. Kapan lagi aku bisa membalas budi?”
suaraku mulai bergetar seakan susah untuk mengungkapkan semuanya.
Kedua
mata ini saling bersitatap. Terlihat jelas ada binar-binar di pancaran mata
Anton tentang kepedulian. Suara Kang Iman menganggetkan kami berdua. Warung
bakso segera ditutup. Kang Iman dibantu kedua anaknya yang masih kecil
membersihkan ruko mungil ini. Ketika aku mau membayar tetiba tangannya Anton
terlebih dulu mengulurkan uang dua puluh ribuan. Aku hanya bisa menghembuskan
nafas tanda kesalku padanya. Sebab hingga saat ini aku belum bisa
mentraktirnya.
Aku
dan Anton segera berlalu dari warung bakso. Terlihat dari seberang jalan
seorang lelaki yang terlihat masih muda dan berdasi melambaikan tangan ke arah
kami. Ternyata lelaki itu adalah ayahnya Anton. Ia dijemput dengan sebuah mobil.
Sekali lagi aku hanya bisa membayangkan. Anton pulang bersama ayahnya sedangkan
aku menunggu angkutan yang tak kunjung tiba.
Aku berusaha untuk selalu tersenyum dengan
segala kondisi yang ku hadapi saat ini. Karena aku yakin Tuhan tidak akan
pernah tidur ketika melihat kondisiku seperti saat ini. Hanya saja aku harus
lebih berusaha untuk meraih impianku. Mimpiku saat ini adalah ingin bertemu
ayah dan ibu. Baik dalam keadaan hidup maupun mati.
***
Pagi
sekali aku sudah berada di sekolah karena ada tugas matematika yang belum
selesai aku kerjakan tadi malam. Suasana sekolah masih terlihat sepi hanya dua
lelaki paruh baya yang sedang asyik menyapu dan mengelap jendela ruang guru.
Sapaku penuh senyum pada kedua lelaki itu.
Aku
bergegas menuju ruang kelas XI Akuntansi. Segera aku buka lembaran tugas yang
belum terselesaikan.
Terlihat di dinding sebuah jam yang sudah
menunjukkan pukul 6.30 pagi. Mulai
terdengar suara-suara siswa SMK Sakti. Di saat aku sedang mengerjakan tiba-tiba
suara Arnol mengagetkanku. Wajahnya terlihat pucat seperti orang ketakutan.
“Andi,
Apa kamu sudah dengar kabar Anton?” nada suaranya terbata-bata. Terlihat di
sudut matanya ada sebuah genangan air.
“Maksudmu
kabar tentang apa?” jawabku pelan berusaha menenangkannya.
“A...an..ton,”
wajahnya tak berani menatapku. Menunduk sambil kedua tangannya memegang erat
tanganku yang sudah mulai berkeringat dingin.
“Kenapa
dengan Anton?” Suaraku mendesak penuh dengan rasa penasaran. Jantungku sudah
mulai berdetak tak beraturan.
“Barusan
tadi aku melihat Anton kecelakaan di perempatan jalan mau ke arah sekolah,”
Suara Arnol goyah. Aku terdiam sesaat pikiranku melayang tak karuan.
“Terus
kondisi Anton saat ini,” Aku pun terus mendesak Arnol agar menjelaskan apa yang
sebenarnya terjadi.
Arnol
seketika memelukku erat sambil menangis. Dua cowok menangis di dalam ruang
kelas memang bukanlah hal yang biasa. Peduli amat kata orang yang saat itu
sedang melihat kami berdua berpelukan sambil menangis. Tetapi teman-teman
sekelas yang barusan datang juga ikut menangis. Mereka mendekati kami saling
berpelukan dan kata-kata yang meluncur yang disertai isak tangis selalu
menyebut nama Anton. Aku makin bingung ada apa dengan Anton.
Pagi
ini yang seharusnya menjadi pagi yang indah bagiku. Tenryata menjadi pagi yang
berkabung. Sahabatku Anton telah pergi untuk selamanya. Aku sungguh terpukul mendengar
kabar itu. Aku tak tahu harus bagaimana. Baru kemarin sore makan bakso bersama.
Tentu saja kabar ini membuatku syok. Teringat tatapan matanya ketika sore itu
sangat tajam. Aku tak sadar kalau itu merupakan tatapan terakhirya. Anton
sampai kapan pun kau adalah sahabat terbaikku. Aku janji setelah lulus nanti
aku akan kuliah seperti yang kau sarankan waktu sore itu.**
Dimuat Koran Harian Minggu Jogja (10/6/2021)