Cinta Semusim
Oleh Agus Yulians*
sumber: https://www.popbela.com
Arga, lelaki yang
selama ini membuat aku jatuh hati. Aku
dan Arga satu kantor di sebuah perusahaan Manufacture yang bergerak di bidang
kimia. Kita patner kerja yang sudah
cukup lama. Kita selalu dipertemukan dalam setiap acara yang
diadakan kantor. Mulai dari meeting hingga membuat proyek jangka panjang untuk
perusahaan. Sejak saat itulah waktu mengakrabkan kita berdua. Mulai dari hal-hal yang berhubungan dengan
pekerjaan sampai kehidupan pribadi. Aku
merasa ada sebuah kecocokan, begitu juga dengannya. Akhirnya, Arga memberanikan
diri untuk mengungkapkan perasaannya untuk menjalin hubungan yang lebih serius.
Mengingat usia kita sudah pantas untuk membangun rumah tangga.
Kesan pertama
melihat pribadi Arga, aku sangat senang ketika dia jujur dengan perasaannya. Aku
merasa kita berdua pasangan serasi. Aku tipe cewek cerewet. Sedangkan Arga
lelaki yang lembut. Ketika aku bicara dengan nada yang keras dia tempelkan jari
telunjuknya ke bibirku dengan diikuti sebuah ucapan, “Sayang, jangan
keras-keras,” jujur saja aku semakin sayang padanya. Walaupun kita memiliki
perbedaan umur yang terpaut jauh tiga
tahun, tentu aku lebih muda darinya. Kami bukan budak cinta, tujuan menjalin
hubungan untuk saling membahagiakan satu sama lain. Dia mencuri hatiku yang saat ini berhasil membuat
jatuh cinta.
***
Aku bangun dari tempat tidurku dan tersenyum bahagia.
Kemudian aku menarik nafas dalam-dalam untuk menghirup udara segar dan
menghembuskannya secara perlahan. Sinar matahari mulai menyengat diriku dari
balik jendela kamar. Aku sangat bahagia sekali semenjak menjalin kasih dengan
Arga. Sebagai wanita aku mengiginkan hubungan asmara ini segera ke tahap arah
yang serius.
Pagi ini, aku ingin menceritakan kebahagiaanku pada ibu,
tentang hubunganku dengan Arga. Beberapa kali aku mengajak Arga ke rumah untuk
aku kenalkan pada Ibu. Aku berharap Ibu
bisa menerima Arga.
Suatu hari kuajak Arga datang ke rumah ingin sekali
mengenalkannya pada ibu Aku membiarkan Arga dan ibu ngobrol agar ada kedekatan
keduanya. Supaya ibu lebih mengenal sosok yang akan jadi menantunya. Di saat
mereka asyik mengobrol sebagai calon istri aku membuatkan minuman kesukaan Arga
dan Ibu; kopi hitam dan teh lemon. Usai perkenalan antara Arga dengan ibu aku
perhatikan raut wajah keduanya berubah. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan
ibu padaku. Namun, aku abai akan hal itu.
“Ibu
jangan khawatirkan Arini! Mas Arga itu mencintaiku kok, Bu!”
“iya. Ibu tahu. Namanya pacaran itu kadang suka kadang
benci. Hubungan yang tidak pernah pasti. Kalau bosan, ibu khawatir dia akan
mencampakkanmu untuk mencari wanita lain!” nada bicaranya Ibu sempat meninggi.
Hampir saja emosiku terhanyut.
“Ah, tidak, Bu, dia pernah mengatakan padaku kalau tidak
akan pernah berpaling dariku,” aku mencoba meyakinkan ibu agar bisa menerima
mas Arga.
“Alaah....,kamu itu sudah termakan bujuk rayunya. Kamu
itu belum tahu watak lelaki. Ibu ini sudah pengalaman, sudah banyak makan garam
kehidupan. Sudah banyak meneguk air masa lalu. Lelaki itu kalau ngomong ketika
ada maunya saja. Begitu dibelakangmu, dia bisa ngomong apa saja dengan gadis
lain,”
Aku memahami perasaan Ibu, dia tidak ingin aku seperti
dirinya. Ditinggalkan seorang lelaki begitu saja. Lelaki yang seharusnya saat ini berada di antara
kami. Ibu pernah bercerita padaku, pernikahannya kandas ditengah jalan. Saat itu di rahimnya sudah tertanam janinku.
Sebuah kado yang dinantikan sepasang suami istri.
Tidak ada angin tiba-tiba badai datang menerjang
kehidupan rumah tangganya. Bagaimana Ibu
tidak sakit hati? jika lelaki yang selama ini dia sayangi ternyata tanpa
sepengetahuannya memiliki wanita lain. Wanita itu datang menyelam di sebuah
kehidupan rumah tangganya. Datang bukan dengan tangan hampa, tetapi dia bersama
seorang anak laki-laki kecil, yang berusia 6 tahun. Wanita itu mengaku kepada
Ibu bahwa dia adalah istri suaminya. Wanita itu menangis dihadapan Ibu.
Berharap agar ibu mau menerima anak yang dibawanya saat itu. Berita itu membuat
hati ibu hancur berkeping-keping, serasa bagaikan disambar petir. Akhirnya, Ibu
menolak anak laki-laki dari suaminya. Sebuah
keputusan pahit akhir dari kehidupan rumah tangganya. Saat itu ibu sedang
mengandungku. Ibu lebih memilih jalan untuk berpisah dan menjadi wanita single
parents.
Beberapa saat kemudian aku merenggangkan pelukan sembari
berkata lirih,”Baiklah, Bu, besok aku akan meminta kepastiannya, ke mana arah
hubungan kami ini,” kataku dengan sisa-sisa emosi yang sedih. Ibu menggangguk
pelan.
***
Aku duduk di dekat jendela menikmati keindahan pagi. Aku menghangatkan tubuh sambil menikmati
secangkir kopi Roasting Robusta dari kekasihku. Selama seminggu, dia
berada di kota Lampung karena ada urusan kantor yang harus dia selesaikan. Aku
pagi ini bahagia sekali. Mendapat kabar
bahwa dia akan balik ke Solo. Aku tidak sabar menunggu kedatangannya. Aku ingin
mendapatkan kepastian dari hubungan ini.
Hubungan yang sudah terjalin begitu lama harus berakhir di pelaminan.
Aku berharap penuh mas Arga segera meninangku. Menikah adalah mimpi setiap
wanita agar hidupnya penuh warna.
Aku menyampaikan
kabar bahagia ini pada Ibu. Namun, Ibu masih tidak percaya bahwa lelaki itu
akan datang padaku lagi. Jujur saja aku sangat kecewa dengan sikap ibu. Sampai
saat ini aku belum mendapatkan alasan yang tepat dari Ibu. Kenapa ibu sangat
tidak suka sama Arga? Ibu hanya bilang padaku suatu saat nanti kau akan tahu
sendiri.
Mataku menatap
bunga mawar yang tertanam di kebun belakang rumahku dari balik jendela kamar.
Mawar merah itu begitu kuat baunya sehingga sampai tercium aroma wanginya. Ingin
rasanya aku memetik setangkai mawar merah untuk aku jadikan hiasan di setia sudut kamar.
Namun, hati ini enggan untuk memetik mawar itu. Biarlah mawar tumbuh dan
bergugur dengan sendirinya.
Kabut-kabut pagi
masih enggan pergi dari bunga-bunga mawar. Apakah kehidupan cintaku seperti
kabut yang selalu menyelimuti mawar ketika ingin merekah di pagi hari?
Sudah dua minggu berlalu Arga tak kunjung balik. Perasaan
gelisah mulai menghantui diriku. Berhari-hari aku selalu menunggu kabar darinya.
Hatiku mulai gundah. Mataku menerawang tak tentu arah. Aku mencoba meyakinkan hati
ini bahwa Arga baik-baik saja.
“Arini,
ada tamu,” kata ibuku dari balik pintu kamar. Lamunan kegelisahanku buyar
seketika. Tanpa pikir panjang aku langsung bergegas menemui seseorang yang
mencariku. Aku berharap dialah yang aku tunggu.
Melihat siapa yang datang, wajahku seketika kaget. Tidak biasanya
Rio, teman karib Arga bertamu sepagi ini
ke rumah.
“Ada
apa, Rio.” Tanyaku bergegas aku mendekatinya.
Rio hanya tersenyum sambil menyerahkan menyerahkan sebuah
surat undangan berwarna merah mawar. Bau harumnya sama persis mawar yang aku
tanam. Undangan itu aku terima.
“Kamu
menikah..” tanyaku sebelum membuka undangan terlebih dahulu.
“Buka
dan bacalah dengan saksama undangannya.” suara Rio begitu lirih dan datar. Pita yang membungkus undangan ku lepas. Mata ini
tertuju pada setiap kalimat setiap kalimat. Hatiku hancur berkeping-keping
begitu tahu bahwa itu bukan Rio. Air mataku pecah. Terduduk lemas tak
bertenaga. Suara tangisku semakin pecah. Ibu kaget mendengar suara tangisku.
Ibu mendekati
diriku yang masih terduduk tak bertenaga. Ia mengambil surat undangan itu dan membacanya.
Wanita berusia 55 tahun itu seketika wajahnya berubah menjadi layu. Ia menatap
Arini yang tak berhenti meratap. Apa yang dia khawatirkan akhinya terjadi juga.
Mata ibu mulai berkaca-kaca.
“Bu,
undangan itu dari Arga untuk Arini,” jelas Rio pada wanita yang mengenakan daster
motif bunga-bunga. Ibu hanya mengangguk. Rio balik pamit meninggalkan rumah
Arini.
Tangisku pecah dalam pelukan Ibu. Seperti bendungan yang
ambrol. Aku memekik dalam hati, mataku terpejam kuat-kuat. Aku tidak tahu harus
menyalahkan siapa. Apa aku sedang bermimpi?
“Seharusnya
Ibu tidak membuatmu menderita seperti ini. Kini, Waktu telah berbicara padamu
tentang sebuah kenyataan. Kamu harus siap menghadapi kenyataan pahit ini,” tangan
halusnya membelai rambut panjangku.
“Sejak
awal bertemu, sudah ada firasat bahwa lelaki itu tidak tepat untukmu. Apalah
artinya firasat seorang Ibu, jika anaknya sudah dibutakan dengan cinta,”
Aku
masih menangis sesenggukan. Seolah-olah dunia ini tidak adil untukku. Dosa apa
yang aku tanam selama ini sehingga cinta yang awalnya indah harus berakhir
dengan begitu pahit tanpa ada sedikit penjelasan apapun.
“Kamu
harus tahu Ndok, Siapa Arga itu sesungguhnya? Ketika kau mengenalkan Ibu
pada Arga, Ibu sempat mencuri waktu untuk mengobrol tanpa sepengetahuanmu. Ibu
hanya ingin tahu latar belakang keluarganya. Ibu sangat kaget ketika mendengar
nama Ayahnya. Sejak saat itulah tanpa sepengetahuanmu, Ibu meminta pada Arga
untuk mengakhiri hubungan kalian. Maafkan Ibu, Ndok, gara-gara masa lalu
ibu, kamu harus menderita seperti ini,” Air mata Ibu menetes membahasi
rambutku. Aku hanya bisa menangis. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Pikiranku
sudah buntu. Aku dihadapkan pada sebuah kenyataan yang memang sangat sulit aku
bela.
Aku hanya terdiam
belum bisa menerima kenyataan ini. Bahwa aku ditinggalkan seseorang yang aku
sangat sayangi dalam waktu sesingkat ini. Aku dihadapkan pada cinta yang hanya
semusim saja. **
No comments:
Post a Comment