Monday, July 1, 2019

Cerpen

Cinta Semusim
Oleh Agus Yulians*
           




Arga, lelaki  yang selama ini  membuat aku jatuh hati. Aku dan Arga satu kantor di sebuah perusahaan Manufacture yang bergerak di bidang kimia. Kita  patner kerja yang sudah cukup lama.  Kita  selalu dipertemukan dalam setiap acara yang diadakan kantor. Mulai dari meeting hingga membuat proyek jangka panjang untuk perusahaan. Sejak saat itulah waktu mengakrabkan kita berdua.  Mulai dari hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan sampai  kehidupan pribadi. Aku merasa ada sebuah kecocokan, begitu juga dengannya. Akhirnya, Arga memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Mengingat usia kita sudah pantas untuk membangun rumah tangga.
 Kesan pertama melihat pribadi Arga, aku sangat senang ketika dia jujur dengan perasaannya. Aku merasa kita berdua pasangan serasi. Aku tipe cewek cerewet. Sedangkan Arga lelaki yang lembut. Ketika aku bicara dengan nada yang keras dia tempelkan jari telunjuknya ke bibirku dengan diikuti sebuah ucapan, “Sayang, jangan keras-keras,” jujur saja aku semakin sayang padanya. Walaupun kita memiliki perbedaan umur yang terpaut jauh  tiga tahun, tentu aku lebih muda darinya. Kami bukan budak cinta, tujuan menjalin hubungan untuk saling membahagiakan satu sama lain. Dia  mencuri hatiku yang saat ini berhasil membuat jatuh cinta.
***
Aku bangun dari tempat tidurku dan tersenyum bahagia. Kemudian aku menarik nafas dalam-dalam untuk menghirup udara segar dan menghembuskannya secara perlahan. Sinar matahari mulai menyengat diriku dari balik jendela kamar. Aku sangat bahagia sekali semenjak menjalin kasih dengan Arga. Sebagai wanita aku mengiginkan hubungan asmara ini segera ke tahap arah yang serius.
Pagi ini, aku ingin menceritakan kebahagiaanku pada ibu, tentang hubunganku dengan Arga. Beberapa kali aku mengajak Arga ke rumah untuk aku kenalkan pada Ibu. Aku berharap  Ibu bisa menerima Arga. 
Suatu hari kuajak Arga datang ke rumah ingin sekali mengenalkannya pada ibu Aku membiarkan Arga dan ibu ngobrol agar ada kedekatan keduanya. Supaya ibu lebih mengenal sosok yang akan jadi menantunya. Di saat mereka asyik mengobrol sebagai calon istri aku membuatkan minuman kesukaan Arga dan Ibu; kopi hitam dan teh lemon. Usai perkenalan antara Arga dengan ibu aku perhatikan raut wajah keduanya berubah. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan ibu padaku. Namun, aku abai akan hal itu.  
            “Ibu jangan khawatirkan Arini! Mas Arga itu mencintaiku kok, Bu!”
“iya. Ibu tahu. Namanya pacaran itu kadang suka kadang benci. Hubungan yang tidak pernah pasti. Kalau bosan, ibu khawatir dia akan mencampakkanmu untuk mencari wanita lain!” nada bicaranya Ibu sempat meninggi. Hampir saja emosiku terhanyut.
“Ah, tidak, Bu, dia pernah mengatakan padaku kalau tidak akan pernah berpaling dariku,” aku mencoba meyakinkan ibu agar bisa menerima mas Arga.
“Alaah....,kamu itu sudah termakan bujuk rayunya. Kamu itu belum tahu watak lelaki. Ibu ini sudah pengalaman, sudah banyak makan garam kehidupan. Sudah banyak meneguk air masa lalu. Lelaki itu kalau ngomong ketika ada maunya saja. Begitu dibelakangmu, dia bisa ngomong apa saja dengan gadis lain,”
Aku memahami perasaan Ibu, dia tidak ingin aku seperti dirinya. Ditinggalkan seorang lelaki begitu saja. Lelaki  yang seharusnya saat ini berada di antara kami. Ibu pernah bercerita padaku, pernikahannya kandas ditengah jalan.  Saat itu di rahimnya sudah tertanam janinku. Sebuah kado yang dinantikan sepasang suami istri.
Tidak ada angin tiba-tiba badai datang menerjang kehidupan rumah tangganya.  Bagaimana Ibu tidak sakit hati? jika lelaki yang selama ini dia sayangi ternyata tanpa sepengetahuannya memiliki wanita lain. Wanita itu datang menyelam di sebuah kehidupan rumah tangganya. Datang bukan dengan tangan hampa, tetapi dia bersama seorang anak laki-laki kecil, yang berusia 6 tahun. Wanita itu mengaku kepada Ibu bahwa dia adalah istri suaminya. Wanita itu menangis dihadapan Ibu. Berharap agar ibu mau menerima anak yang dibawanya saat itu. Berita itu membuat hati ibu hancur berkeping-keping, serasa bagaikan disambar petir. Akhirnya, Ibu menolak  anak laki-laki dari suaminya. Sebuah keputusan pahit akhir dari kehidupan rumah tangganya. Saat itu ibu sedang mengandungku. Ibu lebih memilih jalan untuk berpisah dan menjadi wanita single parents.
Beberapa saat kemudian aku merenggangkan pelukan sembari berkata lirih,”Baiklah, Bu, besok aku akan meminta kepastiannya, ke mana arah hubungan kami ini,” kataku dengan sisa-sisa emosi yang sedih. Ibu menggangguk pelan.
***
Aku duduk di dekat jendela menikmati keindahan pagi.  Aku menghangatkan tubuh sambil menikmati secangkir kopi Roasting Robusta dari kekasihku. Selama seminggu, dia berada di kota Lampung karena ada urusan kantor yang harus dia selesaikan. Aku pagi ini  bahagia sekali. Mendapat kabar bahwa dia akan balik ke Solo. Aku tidak sabar menunggu kedatangannya. Aku ingin mendapatkan kepastian dari hubungan ini.  Hubungan yang sudah terjalin begitu lama harus berakhir di pelaminan. Aku berharap penuh mas Arga segera meninangku. Menikah adalah mimpi setiap wanita agar hidupnya penuh warna.
 Aku menyampaikan kabar bahagia ini pada Ibu. Namun, Ibu masih tidak percaya bahwa lelaki itu akan datang padaku lagi. Jujur saja aku sangat kecewa dengan sikap ibu. Sampai saat ini aku belum mendapatkan alasan yang tepat dari Ibu. Kenapa ibu sangat tidak suka sama Arga? Ibu hanya bilang padaku suatu saat nanti kau akan tahu sendiri.
Mataku  menatap bunga mawar yang tertanam di kebun belakang rumahku dari balik jendela kamar. Mawar merah itu begitu kuat baunya sehingga sampai tercium aroma wanginya. Ingin rasanya aku memetik setangkai mawar merah  untuk aku jadikan hiasan di setia sudut kamar. Namun, hati ini enggan untuk memetik mawar itu. Biarlah mawar tumbuh dan bergugur dengan sendirinya.
 Kabut-kabut pagi masih enggan pergi dari bunga-bunga mawar. Apakah kehidupan cintaku seperti kabut yang selalu menyelimuti mawar ketika ingin merekah di pagi hari?
Sudah dua minggu berlalu Arga tak kunjung balik. Perasaan gelisah mulai menghantui diriku. Berhari-hari aku selalu menunggu kabar darinya. Hatiku mulai gundah. Mataku menerawang tak tentu arah. Aku mencoba meyakinkan hati ini bahwa Arga baik-baik saja.
            “Arini, ada tamu,” kata ibuku dari balik pintu kamar. Lamunan kegelisahanku buyar seketika. Tanpa pikir panjang aku langsung bergegas menemui seseorang yang mencariku. Aku berharap dialah yang aku tunggu. 
Melihat siapa yang datang, wajahku seketika kaget. Tidak biasanya Rio, teman karib Arga  bertamu sepagi ini ke rumah.
            “Ada apa, Rio.” Tanyaku bergegas aku mendekatinya.
Rio hanya tersenyum sambil menyerahkan menyerahkan sebuah surat undangan berwarna merah mawar. Bau harumnya sama persis mawar yang aku tanam. Undangan itu  aku terima.
            “Kamu menikah..” tanyaku sebelum membuka undangan terlebih dahulu.
            “Buka dan bacalah dengan saksama undangannya.” suara Rio begitu lirih dan datar.          Pita  yang membungkus undangan ku lepas. Mata ini tertuju pada setiap kalimat setiap kalimat. Hatiku hancur berkeping-keping begitu tahu bahwa itu bukan Rio. Air mataku pecah. Terduduk lemas tak bertenaga. Suara tangisku semakin pecah. Ibu  kaget mendengar suara tangisku.
            Ibu mendekati diriku yang masih terduduk tak bertenaga. Ia mengambil surat undangan itu dan membacanya. Wanita berusia 55 tahun itu seketika wajahnya berubah menjadi layu. Ia menatap Arini yang tak berhenti meratap. Apa yang dia khawatirkan akhinya terjadi juga. Mata ibu mulai berkaca-kaca.
            “Bu, undangan itu dari Arga untuk Arini,” jelas Rio pada wanita yang mengenakan daster motif bunga-bunga. Ibu hanya mengangguk. Rio balik pamit meninggalkan rumah Arini.
Tangisku pecah dalam pelukan Ibu. Seperti bendungan yang ambrol. Aku memekik dalam hati, mataku terpejam kuat-kuat. Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa. Apa aku sedang bermimpi?
            “Seharusnya Ibu tidak membuatmu menderita seperti ini. Kini, Waktu telah berbicara padamu tentang sebuah kenyataan. Kamu harus siap menghadapi kenyataan pahit ini,” tangan halusnya membelai rambut panjangku.
            “Sejak awal bertemu, sudah ada firasat bahwa lelaki itu tidak tepat untukmu. Apalah artinya firasat seorang Ibu, jika anaknya sudah dibutakan dengan cinta,”
            Aku masih menangis sesenggukan. Seolah-olah dunia ini tidak adil untukku. Dosa apa yang aku tanam selama ini sehingga cinta yang awalnya indah harus berakhir dengan begitu pahit tanpa ada sedikit penjelasan apapun.
            “Kamu harus tahu Ndok, Siapa Arga itu sesungguhnya? Ketika kau mengenalkan Ibu pada Arga, Ibu sempat mencuri waktu untuk mengobrol tanpa sepengetahuanmu. Ibu hanya ingin tahu latar belakang keluarganya. Ibu sangat kaget ketika mendengar nama Ayahnya. Sejak saat itulah tanpa sepengetahuanmu, Ibu meminta pada Arga untuk mengakhiri hubungan kalian. Maafkan Ibu, Ndok, gara-gara masa lalu ibu, kamu harus menderita seperti ini,” Air mata Ibu menetes membahasi rambutku. Aku hanya bisa menangis. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Pikiranku sudah buntu. Aku dihadapkan pada sebuah kenyataan yang memang sangat sulit aku bela.
 Aku hanya terdiam belum bisa menerima kenyataan ini. Bahwa aku ditinggalkan seseorang yang aku sangat sayangi dalam waktu sesingkat ini. Aku dihadapkan pada cinta yang hanya semusim saja.  **
 Cerpen Cinta Semusim ini juara 1 dalam lomba kepenulisan cerpen bertema Ibuku Surgaku yang diadakan oleh Forum Aktif Menulis (FAM) Publishing. 

No comments:

Tulisan Disukai Pembaca

Mengulas Buku Fiksi Antologi Cerpen Amygdala

  Amygdala Sebuah Proses Kehidupan www.agusyulianto.com   Judul Buku : Antologi Cerpen FLP Jawa Tengah Amygdala Penulis : Rahman Hanifan, ...