Lelakiku Lelaki
Ibuku
Oleh Agus Yulianto
Maafkan aku sayang…
Aku
khilaf telah melakukan itu padamu
Aku
sangat mencintaimu
Aku
tidak akan berhenti untuk meraih cintaku kembali
Sebuah
pesan singkat yang setiap hari kau kirim padaku. Muak aku membacanya. Aku banting ponsel pemberianmu itu. Aku menangis di
sudut kamar kecilku. Aku sungguh tidak percaya akan semua itu. Kau biadab! Perbuatanmu tak lebih dari seorang gigolo jalanan.
Hubunganku dengan Dion sudah berakhir semenjak aku tahu
drama perselingkuhannya. Perselingkuhan yang menyayat hatiku. Semenjak kejadian
itu aku tidak bisa memaafkannya. Kau menodai cinta suci yang aku berikan tulus
padamu. Aku menangis dan meratap pilu. Menyesal sungguh aku mengenalmu.
***
Ibu memang wanita yang pandai merawat diri. Di
usia yang ke 40 tahun masih terlihat cantik dan energik. Semenjak berpisah dengan ayah, ibu banyak menghabiskan
waktunya diluar. Kumpul sama teman-temannya; arisan, jalan-jalan ke mall bahkan
sempat liburan selama satu bulan ke pulau Dewata. Kecantikan yang dimiliki ibu memukau setiap mata
lelaki. Ibu kelihatan
lebih muda bahkan kalau disejajarkan dengan diriku seperti kakak adik.
Pada suatu hari tepatnya malam minggu. Aku sengaja
jalan-jalan sendiri ke Paragon Mall. Menikmati malam minggu tanpa seorang
kekasih. Biasanya aku habiskan waktu malam minggu bersama Dion, lelaki yang
sudah setahun ini mengisi hari-hariku. Hubungan kami sangat romantis. Ketika
mata ini sedang menikmati keramaian di setiap sudut mall. Ada sebuah
pemandangan yang membuat mulut ini terbungkam. Bahkan membuat hati ini pecah
berkeping-keping. Sebuah pemandangan yang tidak wajar. Awalnya aku tidak
percaya dengan apa yang aku lihat. Namun setelah aku amati tidak salah lagi
kalau yang aku lihat benar apa adanya. Dion dan ibuku bergandengan mesra.
Layaknya sepasang kekasih. Aku perhatikan begitu banyak barang belanjaan yang
mereka bawa. Aku sudah tidak kuat melihat adegan mesra itu. Kaki ini lemas tak
sanggup melangkah. Mata ini terasa kabur. Kepala seakan berputar-putar. Mata
mulai tak sanggup menahan bendungan air mata. Aku mencoba berdiri tegak dan
meninggalkan mall ini.
***
Di sepanjang perjalanan pulang aku hanya menangis. Hingga
sopir taksi bingung dengan sikapku.
“Mbak, mau turun dimana,” tanya sopir taksi dengan nada
penuh ke hati-hatian.
Hanya suara tangisku yang terdengar. Sopir taksi bingung
melihat diriku yaang tidak berhenti menangis. Aku seka air mata. Menguatkan
hati ini. Aku berharap semua ini hanyalah mimpi. Tapi, tidak mungkin mimpi.
Jelas sekali apa yang aku lihat di mall. Malamku hancur, tidak aku temukan
kebahagiaan di malam minggu ini.
“Turun di perumahan Lawu Asri blok 11, Papahan
Karanganyar, ya, pak,” jawabku yang masih sesenggukan.
Setelah sampai di rumah. Aku langsung menuju kamar. Aku
menjatuhkan tubuh ini dalam tempat tidur. Air mata semakin deras mengalir. Kenyataan yang belum dapat diterima. Aku
bangun dari tempat tidur. Berdiri tegak sambil memandang foto Dion yang
terpasang di dinding kamar. Aku ambil bingkai fotonya lalu ku banting. Pecah,
remuk. Aku maki-maki foto itu. Hingga diri ini terduduk lemah. Meratap pilu
terhadap semua kejadian malam ini.
Sebuah petaka yang tidak akan terlupakan seumur hidupku.
Ibu yang menjadi panutan dalam hidupku telah berjalan
mesra dengan pacarku seperti sepasang
kekasih. Hancur melihat kemesraan itu. Kenapa ibu tega pada diriku, anaknya?
***
Malam sekitar pukul 24.00. Suara mobil sedan memasuki
pelataran rumah. Aku lihat dari balik tirai jendela kamar. Ibu balik sendiri
tanpa Dion. Bahkan barang belanjaanya tidak di bawa sama sekali. Ibu masuk
rumah dengan wajah sumringah. Aku menangis melihat perangai ibu yang begitu
kejam. Dosa apa yang sebenarnya aku lakukan pada ibu. Hingga dia tega melakukan
semua ini padaku. Seharusnya dia paham
bahwa lelaki itu kekasihku. Apakah tidak ada lelaki di dunia ini selain Dion?
Hati ini menjerit.
Seketika ibu masuk ke dalam kamarku. Pintu lupa tidak dikunci. Melihat kondisi kamar yang
berantakan membuatnya kaget. Wajahnya cemas melihat kondisiku yang acak-acakan.
“Apa yang terjadi dengan dirimu San?” tanyanya sambil memegang wajahku. Aku hanya menangis.
Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan tentang pemandangan yang aku lihat di
mall.
“Coba jelaskan pada ibu,”
“Tidak ada yang harus Sani jelaskan. Seharusnya ibu sudah
tahu,”
“Maksud kamu apa? Ibu tidak mengerti dengan semua ini,”
Aku mencoba melepaskan tangan ibu yang memegang wajahku.
Sebuah jarak ku ambil perlahan untuk menjauh darinya. Tangan ibu mencoba
merengkuhku. Tapi aku tak menghalaunya.
“Bicarakan pada ibu San, masalah apa yang kamu alami.”
“Ibu pembohong. Ibu tega melakukan semua itu pada Sani.”
Suaraku mulai meninggi. Melihat reaksiku ibu kaget. Dia masih tidak paham
dengan semua ini.
“Maksud kamu berkata itu apa...” air mata wanita yang
berhiaskan untaian emas di lehernya mulai menetes. Aku perlihatkan sebuah foto
kemesraannya dengan Dion melalui smarphoneku.
“Ibu tega sekali melakukan semua itu padaku. Kenapa?” air
mataku bercucuran begitu deras. Suaraku mulai serak. Aku banting Vas bunga yang
ada di meja riasku. Melihat sikapku yang semakin memberontak ibu terlihat
khawatir. Ibu mencoba menenangkan diriku. Mencoba menghirup nafas dalam-dalam
dan ingin merangkulku. Tapi, aku mencoba menghindari pelukan ibu. Akhirnya, ibu
tersadar dengan perkataanku. Matanya terpejam sejenak. Merenungi apa yang dia
lakukan malam ini.
“Maafkan ibu, San...”
Aku minta ibu menjauhiku. Wanita itu akhirnya keluar dengan
langkah yang begitu berat seakan tidak rela meninggalkanku sendiri. Aku tutup pintu rapat degan diiringi suara
jedoran pintu yang keras.
“
Sani…buka pintunya. Ibu mau bicara sebentar sama kamu,” suara itu terdengar dari luar kamarku.
“Tidak ada yang perlu dijelaskan. Semua sudah terlihat
dengan jelas. Ibu tega melakukan semua itu pada anak sendiri.” Aku hanya menangis sekeras-kerasnya.
“Maafkan ibu, San..” suara wanita itu terdengar lirih
bercampur suara isak tangis.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan...” Aku abaikan
permintaan maaf ibu. Ibu sudah menggores hati ini begitu dalam.
Pintu kamar masih
tertutup. Wanita itu akhirnya pergi meninggalkan aku sendiri. Aku masih
menikmati air mata piluku.
Tubuh ini terasa lelah. Aku terlelap dalam dekapan malam
yang menyisakan luka.
***
Pagi seharusnya bisa aku nikmati. Tapi udara-udara yang
sejuk ini menjadi hambar. Tidak ada semangat dalam menjalani alur hidup
ini. Sebuah drama yang begitu menyayat jantung.
Aku masih malas untuk bersuara. Ibu mendekatiku.
“Bukan maksud Ibu merusak hubungan kalian berdua” Perempuan
setengah baya itu bersimpuh di depanku. Suara isak tangisnya membuat hatiku semakin terenyuh. Aku
hanya diam. Tatapanku kosong.
“Lalu, kenapa ibu tega merebut Dion dari kehidupan anak
ibu sendiri?”
“Maafkan ibu..
“Aku minta kau kembali pada Dion,
dia anak yang baik , sangat sayang padamu. Maafkan Ibu, San…” aku masih diam seribu bahasa. Telinga ini menjadi tuli, hati ini menjadi mati, bibir ini terpaku. Sungguh luka tak sekedar luka yang aku rasa. Perempuan
itu memeluk erat tubuhku. Mengusap air mataku. Mencium keningku. Tapi, tak aku
rasa barang sedikit pun.
Semua telah mati rasa.
Bayangan wanita yang menyusui waktu kecilku dulu perlahan
menjauh dari hadapanku. Suara deru mobil sedan juga turut serta meninggalkanku.
Melaju kencang membawa ibu entah kemana. Air mata ini menetes perlahan. Hatiku
berkata jangan pergi ibu.
***
Kebun Teh, Kemuning
“Beginilah hidupku sekarang,” tuturku pada lelaki itu.
Aku ceritakan semua kisahku dengan Ibu. Semua memang sudah terjadi. Dan kini,
aku tidak tau keberadaannya.
“Aku
ingin kembali padamu San,..” pintanya padaku.
Semenjak kepergian ibu, Sani menjadi wanita yang keras terhadap setiap
lelaki. Begitu banyak lelaki ingin mendapatkan hatinya.. Tapi masih diselimuti
rasa ketakutan. Ketika
hal itu akan terlukis kembali dalam kisah
cintanya.
“ Kau tau betapa dalamnya aku mencintaimu....”
Aku melihat
sekilas wajah Dion ada
semburat kesungguhan untuk kembali merajut
cinta yang telah rapuh.
“Aku akan kembali padamu Dion,
asalkan kau dapat bawa kembali Ibuku?” pintaku padanya.
Seketika
itu aku pergi dari hadapannya. Meninggalkan nuansa hijau semerbak harum teh.
Cinta itu membuat aku harus kehilangan segala-galanya. Orang yang berarti dalam
kehidupanku kini pergi entah kemana. Namun, aku akan terus mencarinya sampai
kapan pun. Meski hati ini telah terluka, tapi aku tetap menyayanginya.
Udara dingin menyengat kulitku. Syall yang dulu dirajut ibu aku kenakan untuk
menutupi leher yang mulai
diserang udara dingin. Kehangatan beigutu terasa
seperti dalam pelukannya. Hati ini masih
menyimpan rasa sayang. Kini, aku sendiri
tanpa kekasih dan orang yang berharga dalam hidupku.
Hingga waktu terus berlalu masih belum aku ketahui kabar
darinya. Ibu.**
di muat di koran Radar Bekasi
di muat di koran Radar Bekasi
No comments:
Post a Comment