Sajak Abdul Wakhid
Menagih Janji
98
Kulihat jejak-jejak
masa lalu
Menghampar setapak
jalan menuju 98
Bumi Indonesia
bersorak air mata
Tragedi jendral tua
turun tahta.
Kepalan amarah,
Teriakan penderitaan,
Seruan melawan perubahan kekuasaan,
Membakar hati sanubari tuk melawan
rezim berkuasa.
REFORMASI!
Katanya ada
kebebasan ngomong,
Katanya Indonesia
lebih sejahtera,
Mana janji bualan
tokoh reformasi,
Bumi pertiwi kian
nangis karena salah reformasi,
Lalu kemana kau
tokoh reformasi?
Reformasi,
Jeritan korupsi menusuk relung hati rakyat kolong jembatan
Jeritan moral mencabik-cabik bunda pertiwi
Jeritan nanar anak pedofilia membakar jiwa dan raga bangsa
Kemana tokoh reformasi 98?
Kini, ku tagih
janjimu tentang reformasi.
Kentingan,
3/6/14
Renungan di Tengah Hujan
Angin kencang mulai menerjang
Hujan gerimis berubah deras
Para pemancing berhamburan tuk berteduh
Waduk pun berubah sepi
Tapi
dipinggir waduk
Hanya tinggal seorang pemuda pengendara vespa
Ia
termenung ditengah derasnya hujan sore itu
Ia
termenung tuk meratapi nasib
Tapi bukan nasib diri atau keluarganya
Melainkan nasib bangsanya
Pemuda
dinegri ini mau lupa
Akan moralnya
Orang
tua dinegri ini hampir lupa
Tentang tanggungjawabnya
Putra-putri
dinegri ini akan lupa
Pada hakikat baktinya
Penguasa
dinegri ini telah lupa
Dengan amanah mereka
Dan pemuda itu kelak
adalah pemimpin bangsa Indonesia bukan pemimpi bangsa Indonesia.
Karanganyar/14
Sajak Ardiarti Bangun Wijaya
Bulan Hitam, Bulan Putih
Bulan hitam
Kaki terseret-seret datang
Mengaduh pada terik
Mengeluh pada rintik
Lampu merah mereka melirik
Koin-koin masuk bilik
Kaki terseret-seret pergi
Gerutu marah bersatu padu
Bulan putih
Kaki terseret-seret datang
Lampu merah mereka melirik
Tak terhalang terik
Tak terhalang rintik
Lembar- lembar masuk bilik
Kaki berlari pergi
Beribu rupiah bersatu padu
Bulan hitam, bulan putih
Kisah kami, pegawai lampu merah.
Sragen,
25 Januari 2015
Sajak Aya Emsa
Badai Debu
Kau mungkin lupa
Sosok-sosok tubuh diterpa debu
Mengais keping-keping
Bertahan menyambung hidup
Jentikkan jari
Di atas gitar tua rapuh yang
usang
Pukulan ringan tutup botol
Di atas telapak yang keras oleh
kehidupan
Suara yang parau
Perut yang kosong sejak kemarin
Wajah-wajah yang kusut kusam,
Mata yang sayu
Kulit yang kasar berbedak debu
Kaki-kaki gontai,
Berjalan dan melompat dari satu
bus
Kepada bus
Tertampar badai debu jalanan
Tersenyum pada pakaian lusuh
Ramah bersama kesulitan
Berteman kenestapaan
dan kesedihan..
Kau pasti lupa
Tersenyum di balik jendela
kendaraan
Sibuk menggesek layar
Tertawa kepada entah siapa di
alam maya
Di dompetmu penuh lembaran merah
dompetku kering bersama kepingan
receh
Kau tutup rapat jendelamu saat ku
mendekat
Kau lambaikan tangan tanda tolak
Kau pasti lupakan,
Dalam harta yang kau punya
Ada pula jatah kami,
Orang-orang mengais hidup dengan bermandi
Badai debu
….
Karangpandan, 28
Oktober 2013
Dunia Maya
Maya punya dua dunia,
Nyata dan tidak nyata
Tapi ia senang pada yang kedua
Tersenyum-senyum sendiri ia
dibuatnya
Lupa pada fakta
Kanan-kiri ada puluhan manusia
Namun, seolah ia sendiri saja
Maya punya dua dunia,
Nyata dan tidak nyata
Sibuk sekali ia dibuatnya
Mengalahkan semua wujud di depan
mata
Sedangkan realita?
Bahkan tidak tampak ada
Dikalahkan oleh yang tidak nyata
Menunduk terpaku mengamati sebuah
benda
Kata nenek, memang itu apa?
Maya punya dua dunia,
Nyata dan tidak nyata
Berkumpul bersama
Tak terasa ada jiwa
Dulu, ketika kami pergi berdua
Perjalanan kami penuh rangkaian
cerita
Namun kini, komunikasi menjadi
tak semestinya
Tak didengarnya nenek bertanya
Kecuali hanya sekilas lalu lewat
telinga
Adab budaya entah kemana
Dia bukan lagi Maya yang lama
Bersama teknologi, dia berubah,
berbeda
Seolah kami, kini hidup di alam
yang tak sama
Dunia Maya memang dunia maya..
Colomadu, 27
January 2015
Sajak Dian Uswatun H
Titik-Titik Noda
Lingkaran setan yang sepertinya memang tak akan pernah berakhir
Hidup di tengah-tengah manusia munafik
Aku menyebutnya sebagai “Manusia-Manusia Tanpa Rupa”
Mereka tak pernah lelah berhenti
Mengais setiap sisi, setiap celah
Adakah lorong-lorong hitam yang masih bisa dimasuki?
Mulut-mulut mereka seperti tak pernah tersentuh Tuhan
Hati mereka terlihat putih, bersih,
menutup kepalsuan
Adakah hal lain yang bisa mereka lakukan selain menuruti setan?
Segerombolan makhluk yang merasa dirinya lebih mulia padahal sebenarnya
hina
Lingkaran itu begitu kokoh, hingga malaikat pun tak kuasa untuk menembusnya
Dan ego tetap berdiri di atas segalanya
Aku rindu jiwa-jiwa yang bersih
Tapi titik-titik noda itu tetap ada, bagaikan hiasan
Titik-titik noda di tengah –tengah tempat suci ini
Aku bertanya pada Tuhanku
Mengapa aku harus selalu meluangkan waktu untuk mengutuki mereka?
Pada akhirnya aku seperti mengutuki diriku sendiri
Mengutuki kebencianku waktu ini, yang mewajibkanku untuk membenci
Senin, 09 Juli 2012
Pada Suatu Sudut Kota Solo
Menyusuri
jalan ini
Ketika
sang surya masih saja membagikan pesonanya
Yang
begitu memancar
Dengan
berjuta jiwa yang berdiri di atas keegoisannya
Apa
yang sedang mereka cari?
Masih
aku tatap “menara” yang menjulang tinggi, dengan keegoisan yang sama.
Ia
biarkan berjuta-juta jiwa menghamba padanya
Mencari
apa yang tak perlu dicari
Karna
di balik mereka, ada senyum-senyum mengembang
Di
atas kemenangannya, di atas keegoisannya
Aku
biarkan diriku berpaling
Biarlah
mereka tetap dengan keegoisannya
Panas
masih tetap menyapa
Ketika
aku bertemu sebuah sudut
Lepas
dari hingar-bingar mereka yang asyik menghamba
Sudut
ini juga tetap menghamba, pada tuan yang tak lagi sama
Menghamba
pada hidup
Pada
kesempatan yang seolah terelakkan
Pada
setetes embun yang menghilangkan sedikit
dahaga
Pada
semilir angin yang mampu menyejukkan jiwa
Pada
udara yang masih dapat terhirup
Pada
sudut itu
Ia
menari di atas keletihannya
Keletihan
yang bukan sebatas raga,
Pun
jiwanya merasa letih
Pada
waktu yang terus saja berlari mengejarnya
Mengejar
angan yang tak kunjung sampai pada tujuan
Namun
di balik keletihan itu
Semburat
semangat masih saja mampu terlihat
Di
antara garis-garis wajahnya yang terlihat sangat jelas
Ia, perempuan
itu, masih saja tak lelah mengais
Mengais
setiap sisa-sisa kesempatan
Apa
yang ia cari dalam keletihannya?
Setetes
hidup
Pada
sudut itu, sudut yang berbeda…
Ada
apakah gerangan dengan dia?
Seorang
lelaki tua, terlarut dalam kesendiriannya
Membungkus
muka dengan kedua tangannya yang juga tua
Kulitnya
terkikis sedikit demi sedikit
Siapakah
yang telah mengulitinya?
Ia
seakan malu
Malu
menatap dunia yang tak pernah berhenti menertawakannya
Menertawakan
setiap tulang-tulang tubuhnya yang begitu terlihat
Menertawakan
hidup yang belum juga mau memberinya kesempatan
Pada
titik-titik jari tangannya
Aku
masih saja mampu melihat
Mata
tua yang terlihat redup
Lelah…tak
bergairah…
Seperti
anak muda yang baru saja kehilangan kekasih, tersisih…
Apa
yang ia cari dalam kesendiriannya?
Setetes
hidup
Pada
sudut itu, sudut yang berbeda…
Sekumpulan
jiwa-jiwa yang aku yakini masih putih
Tertawa
riang di sela-sela keisengannya
Benarkah
mereka iseng? Ah…itu bukan iseng
Mereka
juga meraba sedikit kesempatan
Kesempatan
yang seharusnya bukan mereka yang mencari
Tapi
mengapa mereka harus kuat berdiri?
Di
atas hitamnya hari
Dan
aku tak sanggup menahan
Ketika
jiwa putihnya pada akhirnya harus bercampur dengan hitamnya hari
Yang
selalu menghiasi mimpi-mimpinya, pada
nasib yang semoga berubah
Apa
yang mereka cari dalam keceriaannya?
Setetes
hidup
Dan
waktu terus berlari dan berlari
Akankah
roda itu terus berputar,
Memberikan
kesempatan bagi jiwa-jiwa yang merasa kalah?
Lalu,
apa yang sudah kita berikan, ketika lapar tertutup kenyang?
Apa
yang sudah mereka dapatkan, ketika kantuk tak lagi menyiksa, demi menutup lapar
dengan kenyang?
Hingga
pada detik-detik ketika kemenangan masih terasa, untuk siapakah kemenangan ini?
Ia
hanya milik kita, bukan mereka
Karena
kemenangan ini di atas kekalahan mereka
Jiwa
yang terlihat kalah…
Semoga
nurani mereka masih merasakan hangatnya kemenangan,
Karena
mata ini tak pernah sanggup meraba nurani
(8 Syawal 1431 Hijriyah, saat hari
kemenangan masih terasa dan masih menyapa)
Sajak Hidayatul Hasanah
DI
KOTA
Di
kota besar teriakan membuncah
Mati
lampu!
Di
kota kecil teriakan sayup mengalun
Tak
ada aliran lampu
Negeriku
beragam bukan?
Di
kota besar duduk bersimpuh datang rupiah
Berbekal
ucapan lirih
Di
kota kecil memeras keringat tanpa lelah
Berbekal
tenaga yang kian ringkih
Inikah
sosok negeriku?
Di
kota besar waktu kian memburu
Anak
seolah urusan babu
Di
kota kecil waktu adalah rindu
Kebersamaan
menyatu dalam satu kalbu
Inikah
secuil kepingan negeriku?
Kartasura,
30 Januari 2015
Sajak Intan Nur Cahyati
Pedagang Kaki
Lima
Dua orang
pedagang kaki lima
Kepalanya pecah
terbelah berleleran darah
Di awal tahun
yang langitnya indah berwarna kuning, biru, dan merah
Katanya digebug
satpol pp gagah
Sebab berjualan
kesana kemari tak tahu arah
Dua orang pedagang
kaki lima
Limbung
terengah-engah
Menyeret-nyeret
dagangan yang hendak dijarah
Bukanya ingin
jadi rakyat yang tak taat pemerintah
Tapi bagaimana
lagi?
Darisanalah
diperoleh rupiah
Dua orang
pedagang kaki lima
Berlari
meraung-raung seolah tak penuh isi otaknya
Mencerca,
mengecam, mengumpat hingga robek mulutnya
Pun tak digubris
adanya
Hingga menganga
kepalanya
Tetap tak ada
artinya
Pedagang kaki
lima tetap pedagang kaki lima
Tetap harus
disingkirkan dari ibu kota
Apalagi adanya
Hanya seperti
jamur yang mengotori pengajian dan konser akbar tahun baru ibukota saja
Hah dasar
pedagang kaki lima
Penertiban
pedagang kaki lima dipintu Monas 31 Desember 2014 sore
Sala,
1 Januari 2014
Gadis Sepeda Mini
Memang kuamati
Gadis kecil dengan atasan putih dan sepeda mini
Memperhatikan kami, aku dan ibu
Tak berkedip dan sesekali nafasnya terhenti
Bola matanya bening
Hidungnya mbangir
Tangannya mengenggam plastik es teh kecil
Bajunya lusuh
Aku tahu dia datang menunggang sepeda mini
Sepeda mini warna merah berkeranjang besi
Sandal jepitnya bertali rafia
Dan kulihat ada beberapa luka
Rautnya hanya seperti iri
Aku ingin bertanya tentangnya
Tentang gadis kecil dan sepeda mini
Kutarik ujung atasan ibuku
Kuajak menghampiri gadis itu
Kurendahkan badanku,
Setapak kakinya melangkah
Langkah lawan arah depan
Mungkin dia takut
Tak mengapa
Ku sapa
Gadis kecil dengan atasan putih dan sepeda mini
Memperhatikan kami, aku dan ibu
Tak berkedip dan sesekali nafasnya terhenti
Bola matanya bening
Hidungnya mbangir
Tangannya mengenggam plastik es teh kecil
Bajunya lusuh
Aku tahu dia datang menunggang sepeda mini
Sepeda mini warna merah berkeranjang besi
Sandal jepitnya bertali rafia
Dan kulihat ada beberapa luka
Rautnya hanya seperti iri
Aku ingin bertanya tentangnya
Tentang gadis kecil dan sepeda mini
Kutarik ujung atasan ibuku
Kuajak menghampiri gadis itu
Kurendahkan badanku,
Setapak kakinya melangkah
Langkah lawan arah depan
Mungkin dia takut
Tak mengapa
Ku sapa
Gadis kecil dimana ibumu ?
Ibuku Seorang Pelacur..
2013
Sajak Suparto
MUSLIHAT
Orang-orang
melarat
Yang
hidupnya sekarat
Tak punya
martabat
Tersingkir
di tengah masyarakat
Nasib
mereka jadi perhatian
Diperebutkan
politisi karbitan
Dengan
sogokan dan janji murahan
Raih kursi
anggota dewan
Kini
cita-cita ditangannya
Sumpah
janji diucapkannya
Sebutan
terhormat disandangnya
Fasilitas
melimpah didapatkannya
Namun
tipu muslihat dijalankan
Buat
menutup hutang milyaran
Membungkus
segala kebusukan
Persetan
dengan kritikan
Anggota
dewan dan birokrat
Tiap hari
adakan rapat
Dengan
dalih angkat kaum melarat
Cari
sepakat tapi dengan syarat
Birokrat
ajukan anggaran
Tapi
jangan lupa nasib dewan
Yang
butuh perhatian
Untuk
amankan kebijakan
Birokrat
kelabakan
Bagaimana
bikin angka siluman
Biar
luput dari jeratan
Berkelit
berlepas tangan
Oh,
politisi keparat
Tak
pantas sebutan terhormat
Jadikan
rakyat melarat
Kesrakat
sampai sekarat.
Sragen, 30 januari 2015
Sajak Trimanto B. Ngaderi
Pengabdian
Palsu
Banyak,
Banyak,
Banyak ...
Berdzikir di setiap saat
Bershawalat di setiap tempat
Tilawah tanpa waktu tenggat
Shalat lail tanpa mengenal penat
Tapi ...
Semua hanyalah kekosongan
Semua hanyalah pengulangan
Semua hanyalah pentradisian
Bagaimana elok tanpa penghayatan
Bagaimana agung tanpa pemaknaan
Engkau selalu mengejar banyaknya
Engkau selalu mementingkan
hitungannya
Tiada lagi seni dan irama
Tiada lagi tajwid dan makhrajul
huruf
10 kali, 100 kali, 1000 kali
Sekian kali
Dan ...
Aku menyangsikan atas semuanya
Sajak Niken Subekti
Bait Rasa Asasi
Dalam bait rasa asasi
Petinggi – petinggi negeri beraksi
Bernaung di bawah nama instansi
Mengatasnamakan kebenaran tanpa ilusi
Katanya demi wujudkan mimpi reformasi
Dalam bait rasa asasi
Nyatanya gemuruh dari televisi
Membahana suguhan dramatisasi
Siang malam rakyat konsumsi
Ada apa dengan KPK Vs POLRI ?
Dalam bait rasa asasi
Lantas rakyat bertanya dari hati
Sungguhkah itu untuk kami ?
Atau hanya demi nafsu pribadi ?
Sampai kapan drama ini ?
Kemana presiden Jokowi ?
Dalam bait rasa asasi
Kami butuh fakta bukan janji
Kami hanya inginkan aman di negeri sendiri
Dengarkan rintih kami wahai petinggi
Dari rakyat yang tak mampu basa basi
Pena
Ndeso
Sragen_28
Januari 2015
Kami
Anak siapa ?
Sungguh ironi….
Luka menganga di fisik ini
Bukti kebengisan seorang yang katanya ayah kami
Luka menggerogoti batin ini
Bukti kebiadaban seorang yang katanya ibu kami
Dengungkan pada kami yang kecil ini
Apa kasih sayang sejati yang seperti ini
Lalu kami anak siapa ?
Sungguh ironi….
Katanya hak kami dilindungi
Oleh Negeri tercinta ini
Realitanya kami korban gigit jari
Atas perlindungan setengah hati
Manis di awal buntu di tengah jalan, kenapa ini ?
Lalu kami anak siapa ?
Sungguh ironi….
Sampai kapan kan seperti ini ?
Kami putra putri penerus bangsa ini
Tanpa perlindungan yang sepenuh hati
Dari fajar hingga senja sampai fajar terbit lagi
Tak kunjung kami dapati cahaya itu sinari kami
Pena
Ndeso
Sragen_30
Januari 2015
Sajak Danang Febriansyah
SPG
GIORDANO
Di
Solo Square
Yang berdiri sepanjang jam
Lelah musnah berbalut senyum
Abai orang picingkan mata
Hanya ramahnya yang menjawab
Meski terbungkus ketat itu siksa
Peduli apa dengan sebelah mata
tak mengemis
Apalagi menjual raga
Dalam rahimnya ada yang membesar
Demi itu derita dirasa
Pajang, 23092014 21.02 WIB
UPACARA
MEWAH
Mereka datang dengan busungan
dada
Memamerkan segala kemewahan
mereka
Bahwa apa yang didapatnya karena
usahanya saja
Mobil mewah mengantar mereka
Dan seakan mengatakan kepada kami
“Akulah yang akan memakan
makananmu!”
Mereka berlomba menunjukkan apa
yang dikenakannya
Menaikkan status dari tumpukan
suara kami
Karpet merah buat mereka
Bergaya bak raja namun bergelar
wakil
Dengan bangga mereka menepuk dada
“Itulah kantor kami.”
Kantor yang beberapa tahun ini
Bagi kami terlihat menjadi sarang
besar kebusukan
Disana kebusukan demi kebusukan
disuapkan kepada kami
Sarang kebusukan itu mereka sebut
kantor
Disanalah banyak tikus bertopeng
senyum manis
Mengekang kami
Disanalah topeng bopeng penuh
dusta menyandera hak kami
Mereka lalu duduk untuk
menggantikan tikus busuk yang lain
Yang pensiun atau yang meringkuk dalam jeruji besi yang tak kalah
mewah dengan hotel
Hebatnya atau memang karena tak
pernah belajar tentang rasa malu
Mereka menyebut dirinya yang
terhormat
Yang berjuang demi demokrasi atas
nama kami
Yang tak dihormati oleh mereka
Lalu mereka berdiri
Dan meneriakkan sumpah janji
untuk diingkari
Lihatlah senyum-senyum
kesombongan mereka
Di atas upacara mewah itu
Lima tahun ke depan mereka telah
bersenjata janji :
Penuh ingkar atau dibuktikan
Lalu kita lihat
Siapa yang menyusul masuk ke
dalam jeruji besi
Seperti tikus pendahulunya
Pajang, 01102014 17.06 WIB
Sajak Khairun Nisa
Hanya
untuk Kita
Kakiku
tak beranjak mengambil langkah
Meskipun
tak terdengar suara apapun dari sana
Aku tak
perlu memaksakan diri
Dengan
keratan tali yang memenuhi lantai ini
Pasti
orang-orang juga akan mengerti
Pada
hembusan angin yang begini kencang
Menghempas
keras pada batu-batu di teras
Tulisan
yang kupegang ini sungguh berarti
Hanya
sayang, tak semuanya mengerti
Dengan
rangkainya yang berbeda, mendaki
Juga
puluhan bintang yang tersembunyi
Tak
mudah untuk mendapatkan sandaran mata kaki
Hei
angin, tak bisakah kau halau mereka kemari?
Kurang
baguskah yang kubawa ini?
Padahal
sudah susah payah aku bisa berdiri denganmu?
Apalagi
tanah di sini tak lagi hitam menawan
Juga
tanda-tanda ini seharusnya sangat jelas meski hanya dilihat sekali
Benar,
memang terkadang tak perlu begitu jauh
Apabila
sedekat ini pun bisa
Tak
perlu lama, apabila sebentar pun bisa
Tapi
tak semudah itu, tak semudah itu
Langkah
kita semua harus beribu-ribu
Dan
menit yang dihabiskan juga tak sekedar lima saja
Tapi
ini membutuhkan semuanya
Membutuhkan
semuanya
Untuk
kita semua bahagia.
30 Januari 2015
Sebuah
Koin
Sore
ini tidak jadi hujan
Ketika
angka-angka di kepalaku mulai berhamburan
Mengingat-ingat
tulisan
Memeluk
tangan yang gemetaran
Jaket hijau itu berkibaran
Oleh tabrakan angin yang melintang
pukang
Mencoba berteriak pada gemerlap
bintang
Namun langit tak mengizinkan
Sungguh
tidak bisa ditahan
Dalam
kantong yang memuakkan
Kau
genggam hati orang-orang
Begitukah
selalu kau bertata krama?
Hanya
untuk membuat hijau mata mereka semua?
Lalu
dengan cepat kau ikat mereka dengan rantai penuh bisa?
Kasihan
memang
Apalagi
ketika sungai yang bergejolak begini
Mudah
saja kau buat perahu mengikuti kehendakmu
Hingga
ia oleng dan tenggelam di tengah lautan
Gemerincingmu
pun merasuknan menusuk
Kau
memang sering diharapkan
Silau
warna yang kau punya membutakan mata
Masih
bagus jika hanya mata biasa
Tapi
mata yang buta adalah mata yang membuat kehidupan menjadi berwarna
Apalah
artinya
Kau
tidak hanya untuk belanja
Tapi
kau renggut jasad orang-orang juga
Ini akan menjadi yang terakhir
Raja bilang segelas air lebih baik
daripadamu
Kecuali pada orang yang mudah kena
tipu.
.
30 Januari
2015
Sajak Dhiyas Fatin Nuha
Bayangan Pilu
Waktu terus berlalu
Hingga Ia enggan
mengingat kenangan itu
Lebih baik
membiarkan berlalu
Bila hanya
membinarkan pilu
Lebih baik
membiarkan tercover kisah lain
Bila hanya menderai
batin
Buah hatinya telah
pergi
Bukan untuk
sementara namun untuk kepergian abadi
Asa...
Itulah yang masih
tersisa dalam diri
Asa menatap masa
depan penuh tekad tanpa henti
Meski kenyataan
takkan bisa dipungkiri
Sebuah tragedi telah merenggut buah hati
Tragedi penuh luka
Seperti duri yang tak
henti mencabik relung jiwa
Tak mudah melewatinya
Bayang-bayang pilu tragedi 98
Sukoharjo, 30 Januari 2015
Mengapa Terjadi
Stabilitas kondisi
tak menentu
Bahkan kedamaian
seperti bayangan semu
Yang kemudian hanya
menyisakan sendu
Mengapa terjadi
padamu?
Problem demi
problema
Tak pernah lelah
menyerang
Laksana badai yang
siap menyisakan kehancuran
Mengapa terjadi
padamu?
Ombak kepelikan
Tak pernah henti
menerjang karang-karang harapan
Mengapa terjadi
padamu?
Aku bertanya
Namun hanya harapan
dalam bualan retorika yang kudapat
Mengapa terjadi
padamu?
Mengapa terjadi
padamu, Indonesia?
Semoga ada
perubahan menuju kebaikan
Perubahan dengan
tindakan bukan sekedar buaian
Dan semoga ada bait-bait doa penuh ketulusan
Walau seirama bait-bait resah yang terbelenggu
problema
Sukoharjo,
30 Januari 2015
Sajak Bening Pertiwi
Tuhan Marah, dan Aku Menangis
Tuhan marah, dan aku menangis
“Jangan . . .
kumohon . . . ! ”
kumal, dekil
tengadah tangan kecil
di pojok kumuh
Tuhan marah, dan aku menangis
isaknya
menjadi
pada gelap menggantung
di balik bayang senja
Tuhan marah, dan aku menangis
”tidak,
kumohon . . . !”
ratapnya
sayup, pilu
Tuhan marah, dan aku menangis
hingga hilang
suara nafasnya
tinggal
seonggok tulang
Tuhan marah, dan aku menangis
”tidak ! ! !”
ia berkilah
lantang
”aku hanya utusan
tuk sempurnakan ayat-Nya”
dan esoknya,
tercetak besar-besar
”Gelandangan kecil, mati
atas noda-noda kekuasaan”
Sayang,
hanya
kertas kusam
di tong sampah
Surakarta, Maret 2008
Surat Untuknya yang Tak Bersahabat
lagi
Pelan,
rintiknya basahi tanah gersang ini
Kerontang
panjang lah lalu dan pergi
Gemerisik
dedaunan perlahan warnai
Rekahkan
hari, lah kembang mewangi
Rintiknya
hapus rindu sang bumi
Nak,
ini cerita lain kali
Bumi
kini dan dulu tak sama lagi
Saat
percik itu tak bersahabat lagi
Sisakan
tangis dan luka hari ini
Sungguh,
ini bukan salah bumi
Hanya
manusia tak punya hati
Tak
peduli pada dulu dan kini
Dan
esok yang sisakan sepi
Surakarta, Oktober 2014
Sajak Nuryanto
KEPADA
ANAK JALANAN
Apakah bangsamu
sudah tak peduli lagi denganmu,
Nak?
Kau berjalan di tengah kota
di tengah keramaian kau
meminta-minta
hanya demi kau ingin bertahan
hidup
dan berharap esok masih bisa melihat dunia
Apakah orang-orang di sekitarmu
sudah tak menganggapmu lagi, Nak?
Saat sepi dan hanya sendiri
Seharusnya kau tak berada di sini
Tidur di pinggir jalan, atau di
emperan toko, atau di tepi pohon,
atau di mana saja, dan tak pasti
Seharusnya kau kembali
ke rumah bersama keluarga yang
kau cintai
Namun, tahukah kau siapa
keluargamu?
Apakah bangsa ini
benar-benar sudah tak ada
kewajiban untuk menjagamu, Nak?
Seharusnya kau memang tak di sini
Seharusnya belajar dengan
buku-bukumu
Bersama teman-temanmu di sekolah
Menimba ilmu
Dan seharusnya kau tak di sini
Dan kau tak seharusnya
di sini sebagai anak jalanan
. Sukoharjo, 30 Januari 2015
DUKA
AIR ASIA
Seperti burung,
Kau terbang di atas awan
dan mereka bersamamu
Seperti burung,
Kau melayang bersama angin
dan mereka masih bersamamu
Semakin meninggi,
Seperti engkau menjauhi bumi
dan tak kulihat lagi
Semakin meninggi
Dan kau tak terlihat lagi
Lalu tiba-tiba apa yang terjadi?
Saat mereka menceritakanku lewat
tangisnya
Saat mereka mengabarkanku lewat
kematiannya
Rupanya kau tersesat?
Tenggelam di dasar laut
Menghilang
Menjemput mereka dalam maut
Sukoharjo, 30
Januari 2015
Sajak Achmad Fanani Ulin Nuha
Sungguh
Tak yakin kau
sanggup
Sekedar berjalan di
terik mentari
Yang katanya rezeki
penjual berdasi
Tak yakin kau
sanggup
Sekedar bertahan
dari turunnya air ke bumi
Yang katanya rezeki
para petani
Sungguh,
Bukankah terlalu
sadis
Kau selalu mencaci
maki
Sedangkan kau
berdiam diri
Sungguh,
Sebenarnya kau
penyebab semua ini
Diam memilih tak
peduli
Daripada berusaha
memberi
Cukup
Sungguh,
Jangan terus salahkan
petinggi
Ini tanggung jawab
pribadi
Daripada terus
mencaci maki
Memperkeruh
gelapnya hari
Tak yakin kau
bersyukur
Mengumpat atas
panasnya mentari
Padahal rezeki
penjual berdasi
Tak yakin kau
bersyukur
Mencaci maki
turunya air ke bumi
Padahal rezeki para
petani
Solo, 29 Januari
2015
Jangan Khawatir
Jangan khawatir
Kau bebas memilih
makanan yang kau suka
Tanpa harus
bertanya kandungan berbahaya didalamnya
Jangan khawatir
Kau bebas berlari
sejauh jalanan terbentang
Tanpa harus takut
gesekan kartu yang mengeluarkan hutang
Jangan khawatir
Kau bebas memilih
tempat tidur
Tanpa harus takut
tergusur
Rumahmu adalah
jalanan seluas ini
Tempat bermainmu jalanan yang terbentang
Tidurmu kau bebas memilih sesuka hatimu
Terkadang,
Kenyamananmu terusik, dikejar, ditangkap dirumahmu
Tidak kah mereka pikir itu hak siapa
Kalau itu dalih peduli seharusnya mereka menjagamu
Solo, 30 Januari
2015
Sajak Vhee
Dan
Sunyi
Ruang itu bernama empati
Entahlah..
Aku tak mengerti kenapa ruangan
itu kini begitu sepi
Lelah ku bertanya
Iyakah? Benarkah? Itukah?
Tanda tanya hanya sebatas jadi
tanya yang membesar
Akankah dunia telah memasuki masa
rapuhnya?
Seperti itukah akhir dunia?
Orang memang menua, tapi...
Seperti itukah dunia?
Iyakah? Benarkah? Itukah?
Adalah sebuah realita yang
memalukan dan memilukan
Lompatan detik waktu telah
membawa ruangan itu semakin sunyi
Menyesakkan...
Karanganyar, 30 Januari 2015
_Vhee_
Jungkir
Balik Negeriku
Lihatlah
sang tikus hitam buntut panjang..
Sibuk
keluar-masuk rumah manusia mencari mangsa
Lihat
sang kera, yang dijarah bukan lagi makanan
Si
kucing manis menjelma menjadi sosok anggun di atas panggung
Keluar-masuk
salon lenggak-lenggok pamer kecantikan di perlombaan
Membuat
tuannya keluar duit jutaan
Dunia
fauna telah tertukar dengan dunia manusia
Manusia
tinggal di kolong-kolong
Ritme
hidup seperti kalong
Ada
yang berbaju compang-camping bolong
Sementara
si kucing dan anjing tulen berbaju mewah ungu terong
Ada
sekelompok manusia yang rakusnya melebihi tikus
Saling
rebut seperti sang kera memperlakukan jarahannya
Ada
pula manusia yang senantiasa bersimpuh pada Tuhannya
Tapi
tak bisa apa-apa
Ada
banyak manusia yang membela kebenaran
Tapi
tak bisa apa-apa
Ada
kelompok manusia yang jujur apa adanya
Tapi
tak bisa apa-apa
Jungkir
balik negeriku
Di
saat dunia fauna menyatu dengan dunia manusia
Karanganyar, 30
Januari 2015
_Vhee_
Sajak Yahya Adhi Putra
Sihir
Kurcaci
Kubuka pintu kehidupanku setelah
sekian lama
Kulihat pemandangan yang beragam
warna
Namun kenapa warna hitam jadi
dasarnya?
Itulah yang membuatku kecewa
Cerahnya lampu disetiap
terowongan semut
Gerombolan cupang jantan yang
tidak pernah berubah
Patuhnya juragan emas kepada
petani belut
Serta diamnya cacing meski selalu
di dalam tanah
Kurcaci-kurcaci ini kebingungan
Mereka ingin membuat keajaiban
Namun apa yang terjadi tidak
sesuai harapan
Mereka malah mendapat tendangan
Akhirnya mereka hanya bisa
menanti
Apa yang dihendaki tuhan pastilah
yang terbaik
Namun tak selamanya mereka
membatu diri
Melawan arus waktu yang tidak
baik
Tuan
Tanah
Kulihat sebuah jaring besar
Yang selalu mengikat di pohon
yang besar
Sungguh mereka adalah pohon yang
sabar
Walaupun kulit mereka selalu
memudar
Buah yang jatuh tidak selalu
jatuh
Namun terhalang oleh jaring
terikat
Pegawai kebun selalu patuh
Meski buah sudah jatuh ke tanah
Segerombolan kerbau mengantar
tuan tanah
Pergi ke kota untuk menjual
sekarung buah
Namun keajaiban datang melingkar
Meski harga buah tersebut tidak
masuk akal
Sungguh beruntungnya sang tuan
tanah
Dapat menyantap daging esok
harinya
namun sang tuan tanah kesakitan
karena daging tersebut belum
dibersihkan
Sajak Ibudh
sewindu lalu di solobaru
di dingin malam
di semak alang-alang
pelacur bisu sepuluh ribu
bibirku biru
cuma tiga bungkus nasi sayur lauk tahu?
siapa suruh
kenapa mau
di mana pemilik ruko-ruku tiga lantai itu?
ibudh
TamanPasinaon, Dzulqa'dah 1435
di dingin malam
di semak alang-alang
pelacur bisu sepuluh ribu
bibirku biru
cuma tiga bungkus nasi sayur lauk tahu?
siapa suruh
kenapa mau
di mana pemilik ruko-ruku tiga lantai itu?
ibudh
TamanPasinaon, Dzulqa'dah 1435
lahap ayam goreng dengan canda tawa
dekat jendela
restoran mancanegara
tiga orang pemuda
bangga karna negerinya telah merdeka, katanya
buktinya bisa makan ayam goreng kapan saja, pikirnya
di wajah bumu yang berbeda
tiga orang pemuda
saling menyungging senyum ksatria
dalam lapar dahaga
bercak darah, luka menganga
tiga orang pemuda
tersenyum karna iman menuntun ke medan laga, ikhlashnya
tetap membaja walau hanya kerikil digenggamnya, yakinnya
....
di bangku restoran dekat jendela
ayam goreng dicabik-cabik oleh geligi tiga orang pemuda
meluncur kenyangi lambung-lambung mereka
di tanah berdebu berhias puing-puing kota
rentetan peluru tajam mencabik-cabik badan tiga orang pemuda
menembus membedah lambung-lambung mereka
....
tiga orang pemuda
di negeri yang telah merdeka, katanya
meski duduk dekat jendela
tak tahu
ayam goreng berarti peluru
atau
pura-pura tak tahu
karna hati yang beku
ibudh
Taman Pasinaon, 9 Muharram 1434, 20:51 WIB
No comments:
Post a Comment