Majalah Hadila (edisi Agustus 2014)
Surakarta Kota Layak Anak Siapkah
Oleh : Agus Yulianto, S.Pd.I
Pemerhati
Pendidikan
Beberapa hari terakhir, media massa gencar
memberitakan tentang kasus kekerasan yang terjadi di sekolah, khususnya bullying (kekerasan)
yang dilakukan oleh siswa maupun guru. Menurut saya tindakan tersebut t telah keluar dari nilai-nilai kemanusian dan
mencoreng tujuan mulia pendidikan.
Betapa
tidak, sekolah yang seharusnya dijadikan sebagai tempat untuk menanamkan
nilai-nilai akhlakul karimah (pendidikan budi pekerti) dan
juga untuk menanamkan nilai-nilai karakter, telah dinodai oleh perbuatan-perbuatan
yang tidak bertangungjawab dan tidak memahami arti dari sebuah proses
pendidikan. Dalam hal ini bukan hanya sekolah sebagai
istitusi pendidikan yang namanya akan tercemar, kepala sekolah,
guru, siswa bahkan orang tua pelaku juga akan menjadi jelek di mata masyarakat.
Kekerasan di sekolah atas nama apapun seharusnya tidak terjadi.
Kekerasan pada dasarnya
tergolong ke dalam dua bentuk ; Pertama, kekerasan dalam bentuk
sederhana atau bersifat spontanitas, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil
atau yang tidak terencanakan, seperti menempeleng atau meninju seseorang secara
spontan akibat marah atau emosi yang tidak terkendali; dan Kedua,
kekerasan yang terkoordinir atau terencana, yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok seperti geng sekolah.
Merujuk
hasil survey Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat tahun 2012 di 9
provinsi (komnaspa.or.id), kasus kekerasan terhadap anak di sekolah meningkat
hingga lebih dari 10 persen dari tingkat
SD-SMA. 87,6% siswa mengaku mengalami tindak kekerasan. Baik kekerasan fisik
maupun psikis, seperti dijewer, dipukul, dibentak, dihina, diberi stigma
negatif hingga dilukai dengan benda tajam. 78,3 persen anak juga mengaku pernah
melakukan tindak kekerasan dari bentuk yang ringan sampai yang berat.
Merujuk pada hasil riset tersebut menunjukkan bahwa sekolah hingga
detik ini belum bisa menjadi tempat yang ramah bagi anak (siswa). Hal tersebut
tentu sangat kontraproduktif dengan makna sekolah itu sendiri, yaitu sebagai
tempat untuk belajar.
Dengan
melihat kondisi tersebut pemerintah Surakarta, agar segera menerbitkan
kebijakan sekolah ramah anak di seluruh sekolah di Indonesia. Sehingga kedepan
sekolah tidak hanya menjadi lembaga yang berorientasi pada pencapaian target
kurikulum tapi penyelenggaraannya juga menghormati HAM dan prinsip perlindungan
anak.
Salah satu caranya dengan mengajak anak berpartisipasi dalam memutuskan
setiap kebijakan sekolah misalnya dalam hal pembuatan tata tertib, dan penentuan jenis hukuman di
sekolah. Sementara itu, Pendidik juga mempunyai peran yang sangat signifikan,
mereka harus mampu menjadi pendidik yang ramah terhadap anak dan
mampu menjadi fasilitator yang baik bagi anak didiknya.
No comments:
Post a Comment