Pembelajaran Anti Korupsi
Oleh Agus Yulianto*
Kasus korupsi yang terungkap akhir-akhir ini seakan tidak pernah berhenti.
Ibarat rumput ketika dicabut tumbuh lagi. Seolah-olah korupsi merupakan sebuah
budaya yang sudah mengakar di dalam rahim kita. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia dalam Suryono (Hassan:2013), korupsi berasal dari kata Korup artinya
buruk, rusak, busuk, suka memakai barang/uang yang dipercayakan kepadanya,
memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Bentuk perbuatan korupsi
seperti suap, pencucian uang, gratifikasi dan lain sebagainya.
Kasus korupsi di negara kita jumlah yang terungkap
sungguh melewati batas kewajaran. Korupsi selama ini telah menenggelamkan
kredibilitas bangsa Indonesia di mata dunia yang selama ini dikenal sebagai
bangsa yang baik dan suka menolong. Negara kita telah berusaha memberantas
kasus korupsi salah satu usahanya dengan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Akan tetapi, dengan melihat kasus korupsi yang menimpa toko-tokoh public yang seharusnya menjadi wakil
rakyat kini malah menjadi tokoh yang mendzalimi dan tidak layak untuk dijadikan
panutan.
Perbuatan
korupsi merupakan salah satu sikap tercela dan merugikan banyak orang. Hal ini
tentunya berdampak pada dunia pendidikan, karena pendidikan merupakan salah
proses pembentukan kepribadian yang paling penting. Tapi banyak para penjabat
kita yang memiliki tingkat pendidikan tinggi justru malah terlibat dalam kasus
korupsi. Sebenarnya apa ada yang salah dari sistem pendidikan kita? Orang yang
semakin tinggi pendidikannya, semakin besar pula peluang untuk menjadi
koruptor. Hal itu mungkin dikarenakan para pejabat kita dulu ketika sekolah
tidak belajar dengan sungguh-sungguh. Maksudnya mereka memperoleh gelar
sarjana, doktor bahkan profesor melalui perbuatan mencontek atau dengan kata
lain Plagiat. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) plagiat diartikan sebagai penjiplakan atau pengambilan
karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah
karangan dan pendapat sendiri. Mungkin tindakan semacam Plagiat sudah tidak asing lagi dalam dunia pendidikan. Bahkan hal
ini sudah biasa. Perbuatan Plagiat ini
merupakan perbuatan mencontek yang bisa menjadikan seorang pelajar sebagai
koruptor.
Maraknya kasus korupsi tentunya menjadi kesadaran
bagi kita semua bahwa lembaga pendidikan juga mempunyai peran yang sangat
signifikan untuk memberanas korupsi. Penanaman karakter atau perilaku yang
bermoral terhadap siswa boleh dikatakan masih dalam tataran teori. Misalnya seorang
guru marah-marah kepada siswanya karena sering terlambat, sedangkan guru
sendiri sering datang terlambat. Sebagai seorang guru kita harus memberikan
teladan yang baik kepada peserta didik. Apa yang kita lakukan selalu akan
ditiru dan di contoh oleh anak-anak kita. Contoh lainnya, Sebagai seorang guru harus mengajarkan
kepada anak didik supaya tidak mencontek ketika ujian. Akan tetapi, hanya untuk
mengejar target kelulusan atau biar lembaga pendidikan dipandang memiliki
prestasi yang bagus. Perbuatan mencontek
ketika ujian nasional marak terjadi di lembaga pendidikan. Perbuatan ini sering
dilakukan oleh pihak sekolah supaya siswa-siswanya lulus dalam mengikuti ujian.
Perlu diketahui bahwa perbuatan mencontek salah satu pintu masuk menjadi
seorang koruptor. Ketika seorang guru mengajarkan mencontek sama saja seorang
guru mencetak generasi koruptor.
Timbulnya perbuatan korupsi sangatlah bergantung
pada apa yang mereka kerap lakukan di lingkungan sekolah dulu. Perilaku di
sekolah inilah yang perlu kita perhatikan untuk menghindari perbuatan korupsi
di kemudian hari. Banyak kegiatan di sekolah yang dapat menimbulkan perilaku
korupsi.
Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies
Baswedan bahwa untuk membangun budaya anti-korupsi dimulai dari dunia pendidikan.
Penanaman nilai-nilai anti-korupsi dapat dilakukan pada saat kegiatan belajar
mengajar. Guru sebagai pengajar bertugas sebagai sumber teladannya. Dengan
keteladanan diharapkan mampu mencerminkan sikap anti-korupsi bagi peserta
didik. Selain keteladanan, membangun budaya anti korupsi dapat dilakukan dengan
cara-cara yang inovatif dan kreatif namun tetap menyenangkan. Keteladanan
sangat kuat perannya dalam menumbuhkan sikap anti korupsi. Ada sebuah ungkapan
orang Jawa Guru di gugu lan di tiru.
Bagaimanapun juga guru merupakan sandaran dan teladan bagi siswa-siswanya.
Metode Pembelajaran
Menurut Elwina dan Riyanto dalam Yaramadani, Febri
(2012), menyarankan bahwa dalam menanamkan nilai-nilai anti korupsi ada salah
satu metode yang dapat dilakukan, yaitu Metode Demokratis. Metode ini
menekankan pencarian secara bebas dan penghayatan nilai-nilai hidup dengan
langsung melibatkan anak untuk menemukan nilai-nilai tersebut dalam
pendampingan dan pengarahan guru. Guru tidak bersikap sebagai pemberi informasi
satu-satunya dalam menemukan nilai-nilai anti korupsi yang dihayatinya. Guru
berperan sebagai penjaga garis atau koridor dalam penemuan nilai hidup
tersebut. Metode ini dapat digunakan untuk menanamkan nilai keterbukaan,
kejujuran, penghargaan pada pendapat orang lain, sportivitas, kerendahan hati
dan toleransi. Tahap demi tahap anak diajak untuk menata jalan pikiran, cara
berbicara, dan sikap hidupnya. Dengan cara ini anak diajak untuk belajar
menentukan nilai hidup secara benar dan jujur.
Pembelajaran anti korupsi pada prinsipnya
menggunakan seluruh metode yang melibatkan seluruh aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik serta kecerdasan sosial. Dalam penyampaian nilai-nilai anti
korupsi harus digunakan cara-cara yang menarik dan disesuaikan dengan kemampuan
anak didik.
Selain
itu, Pemerintah seharusnya memperhatikan tentang sistem pendidikan di
Indonesia. Pemerintah lebih menekankan pada pendidikan moral dan norma sosial.
Karena pendidikan moral dapat menjadi pondasi yang kokoh terhadap pembentukan
karakter siswa. Penanaman sikap kejujuran didalam keseharian siswa di
lingkungan sekolah. Mengubah perilaku
tidak atau kurang jujur menjadi jujur bukanlah suatu hal yang ringan. Sikap
jujur dapat dicapai dengan pembelajaran dalam dunia pendidikan. Sebagai seorang
pendidik selama ini saya merindukan kurikulum pendidikan anti korupsi dijadikan
bagian dari mata pelajaran di sekolah. Apalagi di dukung dengan perubahan kurikulum
yang saat ini kembali kepada kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Sangat
memungkinkan sekali bahwa setiap sekolah bisa mengembangkan kurikulum
anti-korupsi secara mandiri. Seperti itu.