Saturday, February 8, 2014

Essay



Ironis Mahasiswa Apatis

            Dunia kampus sebagai kawah candradimuka kemahasiswaan  merupakan sebagai tempat pengkaderan calon para pemimpin bangsa. Sebagai mahasiswa sudah sepatutnya kita mengetahui kemana arah pergerakannya, fungsi dan perannya sebagai kaum intelektual bagi semua kalangan, setidaknya memiliki nilai tambah bagi kalangan masyarakat.  Melihat eksistensi gerakan mahasiswa pada eraglobalisasi saat ini tidak ubahnya dengan gerakan mahasiswa pada jaman dulu hingga sekarang. Pada era jaman dulu mahasiswa sangat difungsikan di berbagai kegiatan masyarakat. Dibangga-banggakan bagi kalangan masyarakat umum khususnya di lingkungannya. Kenyataan yang terjadi kondisi gerakan mahasiswa pada arus kehidupan saat ini mahasiswa seakan melupakan Tridarma Perguruan Tinggi yang merupakan ideologinya. Sehingga hal ini menjadi pandangan negatif  bagi masyarakat atas keberadaan fungsi dan peran mahasiswa sebagai Agent Of Change.
Sejarah telah menyaksikan berbagai peristiwa besar di dunia yang tidak lepas dari aktor intelektual di belakangnya. Kaum intelektual yang diwakili masyarakat kampus termasuk juga mahasiswa sering menjadi penggagas utama dalam setiap perubahan (Deddy Yanwan Elfany).
Pramoedya Ananta Toer, pernah mengatakan, “Semua yang terjadi di bawah kolong langit ini adalah urusan setiap orang yang berpikir.” Dan mungkin yang dimaksud Pramoedya adalah kalangan intelektual, mereka yang berpikir dan hidup dalam gagasan-gagasan. Selain itu Noam Chomsky dalam The Responsibility of Intellectuals mengatakan, seorang intelektual dengan status istimewanya berkewajiban memajukan kebebasan, keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian.
Yang cenderung melakukan hal ini adalah aktor mahasiswa atau aktivis kampus yang peduli  dengan berbagai kondisi kegelisahan masyarakat, aspirasi yang tidak tercapai, pemerintahan yang lamban, dan krisis demokrasi, sehinggan mahasiswa yang memiliki jiwa kepedulian terhadap apa yang terjadi mereka akan mengambil tindakan memberikan solusi, lain halnya dengan mahasiswa yang apatis, seolah tidak peduli dengan apa yang terjadi.
Melihat memorandum sejarah gerakan mahasiswa mereka melakukan tuntutanya dengan berbagai cara untuk mengharapakan perubahan atas tuntutanya, apabilah kita belajar dari sejarah ini umumnya mereka melakukan tuntutan dengan cara melakukan aksi, baik aksi massa, aksi dialogis, aksi solidaritas dan lain-lain. Tokoh revolusi Islam Ali Syariati menegaskan intelektual harus memainkan peran strategis  mencerahkan lapisan masyarakat yang tertinggal. Ali Syariati mengungkap tugas intelektual adalah sebagai Rausyan Fikr, mencerahkan lapisan masyarakat yang terpinggirkan. Dan pada akhirnya bukanlah tidak mungkin kondisi yang diidealkan dalam konsep Civil Society atau Masyarakat Sipil  bisa tercapai. Sebagaimana kata Fahri Hamzah, masyarakat sipil berperan kritis sebagai kontrol terhadap domain politik negara dan juga kontrol terhadap domain ekonomi.  Dengan begitu, perlindungan terhadap rakyat baik individu maupun kelompok oleh kesewenang-wenangan  dapat tercapai.Pergerakan mahasiswa seperti inilah yang dianggap dapat memberikan solusi perubahan terhadap tuntutan mahasiswa.
Ernest Mandel seorang marxist asal belgia mengeluarkan sebuah konsepsi tentang pergerakan mahasiswa. Ia menyebutkan perlu adanya integrasi yang tidak terpisahkan antara teori dan praktek. Dalam hal ini teori dan praktek adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Aksi tanpa teori tidak efisien atau tidak dapat melakukan perubahan yang mendasar. Begitu pula teori tanpa aksi  tidak akan mendapat watak ilmiah karena tidak ada jalan lain untuk menguji teori tersebut selain dengan aksi.
Tetapi dengan realita yang ada sekarang, mahasiswa belum maksimal dalam melakukan hal tersebut. Singkatnya, mahasiswa apatis masih terlalu banyak jika dibandingkan dengan mahasiswa yang responsible. Mahasiswa sekarang dibatasi dalam hal berfikir. Karena ditakuti adanya sebuah ancaman mulai dari hilangnya sebuah nilai akademik atau ancaman-ancaman yang lain yang bisa melunturkan daya kritis mahasiswa itu sendiri. Mahasiswapun dilarang kritis.
Jika kita berkaca pada kehidupan kampus saat ini. Masih banyak perdebatan antara mahasiswa satu sama lain tentang sebuah pergerakan. Ada yang mengatakan, bahwa sepatutnya mahasiswa yang notabene kaum intelektual tidak perlu melakukan aksi. Karena cukup hanya dengan berdiskusi terkait kebijakan-kebijakan isu internal kampus maupun eksternal (politik atau pemerintahan);  Ada juga yang beranggapan bahwa untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat maupun mahasiswa atau melakukan perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan yang merugikan hanya bisa dilakukan dengan aksi.
Bila kita hanya mengandalkan teori, itu sama halnya dengan kita berusaha sampai ketempat tujuan dengan kaki terpincang. Serta hasil kajian-kajian dan diskusi yang dihasilkan hanya akan menempel di dinding-dinding ruangan diskusi atau menjadi setumpukan arsip. Untuk itu ujung dari sebuah kajian dan diskusi adalah aksi. Walaupun pada zaman ini, perkembangan teknologi begitu canggih, dimana setiap tulisan bisa dengan mudah disebarkan dan dibaca oleh setiap orang. Tetapi kita tidak boleh mengesampingkan eksistensi dari sebuah aksi. Karena sejujurnya kekuatan dari sebuah aksi masih begitu besar dalam menuntun sebuah perubahan.
Begitupun bila kita hanya mengandalkan aksi, Jangan berharap akan terciptanya sebuah perubahan. Untuk menuntut suatu perubahan seyogyanya kita mengetahui apa yang akan kita rubah dan apa alasan untuk merubah. Karena landasan dari suatu aksi adalah teori. Kita harus melakukan kajian-kajian dan diskusi terlebih dahulu sebelum melakukan aksi. Suatu aksi yang tercipta tanpa kajian hanya dipenuhi oleh nafsu emosi semata. Ibarat seseorang yang mau pergi ke kampus , tetapi dia tidak mengetahui jalan menuju kampus itu, maka pada akhirnya ia akan tersesat dan kebingungan.
Selain hal diatas terdapat suatu hal lainnya yang menyebabkan pergerakan-pegerakan mahasiswa sekarang cenderung menurun. Yaitu berkurangnya minat mahasiswa untuk berdiskusi dan mengkaji isu-isu terkini.
 Untuk itu sebuah lembaga kemahasiswaan yang menaungi seluruh civitas academia harus berusaha untuk menghidupkan diskusi-diskusi dalam kampus.. Karena hanya akan membuat mahasiswa kebingungan dan tidak mengetahui maksud dan tujuannya melakukan aksi untuk itu perlu diadakannya .Hal lain yang membuat menurunnya sebuah pergerakan mahasiswa adalah banyaknya mahasiswa yang terpangaruh propaganda media massa tentang sebuah aksi. Mereka menganggap aksi atau demonstrasi adalah suatu hal yang anarkis, tidak mencerminkan sifat intelektual akademisi. Tetapi bila semua jalan untuk melakukan advokasi tertutup. Maka jalan terakhir adalah aksi untuk itu kita tidak perlu anti dengan yang namanya aksi.
Akan tetapi dalam masalah aksi ini, masih terdapat mahasiswa-mahasiswa yang bertindak sok pahlawan padahal sesungguhnya ia seorang hipokrit yang hanya mengejar eksistensi pribadi masing-masing. Biasanya mahasiswa seperti ini melakukan sebuah aksi tanpa melakukan diskusi dan kajian-kajian terlebih dahulu. Lalu ujung-ujungnya melakukan demonstrasi yang anarkis. Menyebabkan rasa simpati dari masyarakat terhadap sebuah aksi berubah menjadi antipati. Padahal substansi dari aksi adalah untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat. Bila suatu aksi sudah kehilangan kepercayaan dan harapan dari masyarakat, maka jangan harap perubahan itu terjadi.
 Dalam hal ini sudah sepatutnya mahasiswa menghentikan perdebatan tentang mana yang baik dalam melakukan pergerakan. Apakah itu teori ataupun aksi karena dalam menciptakan sebuah gerakan revolusioner tidak ada yang namanya pemisahan antara teori dan aksi.
Mahasiswa takut pada dosen, dosen takut rektor, rektor takut pada menteri, menteri takut pada presiden, presiden takut pada mahasiswa.
(Taufik Ismail).
dimuat di majalah Respon edisi bulan Januari-Februari 2014.

No comments:

Tulisan Disukai Pembaca

Mengulas Buku Fiksi Antologi Cerpen Amygdala

  Amygdala Sebuah Proses Kehidupan www.agusyulianto.com   Judul Buku : Antologi Cerpen FLP Jawa Tengah Amygdala Penulis : Rahman Hanifan, ...