Ketika Cinta Pergi
Meninggalkanmu
Oleh Agus
Yulianto*
“Mak,
kayu bakarnya sudah habis...!” aku berteriak sekencang
mungkin agar Emak mendengar suaraku.Maklum hanya teriakan yang dapat aku
lakukan.
“Ada
apa, tidak usah teriak-teriak, malu kan
sama tetangga,” ujar Emak sambisltergopoh-gopoh menghampiriku.
“Mak,
kayu bakarnya sudah habis, gimana mau masak,” rungutku kesal.
Bagaimana
tidak kesal, sudah capek-capek pulang dari kampus masih disuruh masak di dapur.
Mana persediaan kayu bakar sudah habis.Meski sekarang jaman sudah canggih, tapi
kami masih menggunakan kayu bakar.Meskipun sudah dapat bantuan kompor gas dari
pemerintah tapi, Emak tetap bersikukuh untuk menggunakan pawon untuk memasak.Pernah suatu hari aku bertanya kepada Emak
kenapa tidak memakai kompor Gas, tapi apa jawabnya, Sebaiknya kita sebagai orang desa harus tetap melestarikan alat
tradisional agar tidak punah dan juga tidak di klaim oleh orang asingbegitulah
kira-kira jawaban Emak.
Memang
di kampung kami setidaknyalistriksudahadadansegalafasilitas yang
berhubungandenganteknologisudahtersediatidakterkecuali di rumah.Tapi Emak tetap
berusaha untuk tetap hemat. Listrik dirumah hanya terpasang 450 watt, tapi itu
tidak seluruhnya kami pakai.Karena kami hanya punya beberapa lampu yang sedikit
saja digunakan, itu pun lampu neon 10 watt sebanyak 3 buah. Dan yang lain 2
buahdopkecil 5 watt ituhanyauntukpeneranganbagiantertentu. Kami pun juga punya TV 14 inci, kipas angin dan Tape
Recorder tapi, itu semua jarang kami hidupkan. Alasannya sepele,
kami tidak mungkin mampu membayar pajak listrik. Selain itu Emak juga takut kalau
selama ini bayar listrik uangnya tidak pernah sampai kepemerintah, karena makanan
sehari-hari Emak berita tentang kasus korupsi. Hampir setiap media baik elektronik
maupun cetak menyajikan menu berita kasus korupsi. Itulah yang membuat Emak takut.
Maklum kami dari keluarga ekonomi menengah.
***
Dulu sewaktu Ayah masih ada dan masih sehat, ayahlah yang
menjadi tulang punggung keuangan keluarga kami. Ayah bekerja sebagai karyawan
pabrik textile milik Pengusaha
Tionghoa. Walau hanya dengan gaji pas-pasan tapi itu bisa mencukupi kebutuhan
hidup sehari-hari kami dan juga biaya kuliahku termasuk pajak listrik.
Ayah
sudah meninggal 3 tahun yang lalu ketika aku masuk awal sekolah SMA. Mau tidak mau Emaklah yang harus menggantikan posisi Ayah. Setiap pagi mulai dari
pukul 05.00 Wib Emak harus segera pergi ke pasar menjual kayu bakar. Emak benar-benar
banting tulang untuk membiayai kehidupan kami. Dengan empat orang anak dan semuanya masih sekolah, kami harus tahu diri
dan harus saling bahu membahu meringankan bebanEmak. Dengan penghasilan hanya tiga
ratus ribu perbulan itu kami hemat sedemikianrupa.
“Meski kehidupan kita seperti ini, Emak tidak akan pernah berhenti untuk menyekolahkan
kalian hingga keperguruan tinggi. Namun ingat pesan Ayah kalian, jangan pernah malu
dengan apa yang dimiliki orang tua kalian saat ini, ” sesaat Emak menghela
nafas dan meneteskan air matas ebelum melanjutkan kata-katanya.”
Karena atas ijin Allah swt jualah apa yang dimiliki oleh Emak
suatu saat akan menjadikan kalian orang-orang yang bermanfaat untuk orang
lain,” lanjut Emak, menjadikan kata-katanya memberikan suatu pertanda bahwa suatu
saat nanti Emak akan meninggalkan kami semua. Hatiku pun tersentak dan air mata
ini tak berhenti menetes.Aku dan ketiga adik kumemeluk erat Emak. Begitu hangat
pelukannya seakan mengingatkanku ketika masa kecil dulu.
Mendengar perkataan Emak, aku mulai gelisah. Mungkinkah ini cobaan bagi kami saat ini, lalu apa yang harus kulakukan sekarang jika semua sudahberubah.Keadaan
perekonomian keluargaku yang semakin menurun. Aku masih kuliah
dan ketiga adikku masih sekolah semua.
Kami membutuhkan biaya yang tidak sedikit meskipun sudah ada bantuan dari
pemerintah BOS (BantuanOperasionalSekolah) tapi itu belum bisa menutupi biaya sekolah
adik-adikku. Pikiranku sangat kalut.
***
Malam ini kami semua berkumpul duduk di serambi depan rumah. Ditemani terangnya sinar bulan dan gemerlapnya bintang. Canda tawa
menghiasi suasana malam yang sunyiini, walau hanya di temani dengan segelas air
teh hangat dan singkong goreng itu semua tidak menghilangkan kehangatan
keluarga kecil kami. Di kesempatan ini aku ingin mengutarakan sesuatu pada Emak
yang sebenarnya sulit bagiku untuk ku katakan.
”Mak, bulan depan Aku harus bayar SPP” dengan nada
terbata-bataku sampaikan hal itu pada Emak. Mendengar keluhanku tadi hanya suara kosong yang ku dapatkan dari Emak. Nuansa malam ini seketika menjadi hening.
“Berapa…”
jawab Emak dengan nada singkat. Sulit bagiku untuk aku
katakan padanya. Bagaimana pun juga aku harus mengatakannya.
”Dua
juta tiga ratus lima puluh ribu rupiah Mak,” tak ada suara sekata pun dari
bibir Emak. Semua diam termasuk aku dan adik-adikku. Dari lubuk hatiku hanya doa yang bias aku panjatkan padaNya.
“Baik nak, besok akan Emak carikan uangnya. Yang penting kamu rajin
belajar biar bisa meraih impianmu” itu jawaban yang aku dapatkan dari Emak. Aku
tak tahu uang itu akan di dapatkan darimana.
***
Waktu fajar telah tiba, mata yang aku pejamkan perlahan-lahan terbuka. Kulihat kearah jam
dinding dikamarku yang menunjukan pukul 04.30, aku terbangun bergegas untuk mengambil
air wudhu menunaikan sholat shubuh. Kami sekeluarga sudah terbiasa sholat berjamaah di
masjid yang tidak terlalu jauh dari rumah kami.Usai sholat shubuh kami
melakukan aktivitas masing-masing. Adik-adikku ada yang mengaji dan ada juga
yang melanjutkan tidurnya. Aku sendiri mempersiapkan perlengkapan untuk pergi
kekampus. Organisasi Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang aku ikuti
mengadakan kegiatan bakti sosial di daerah Sambi, Boyolali. Sedangkan
Emak sehabis sholat shubuh, memasak di
dapur dan menyiapkan sarapan untuk kami semua. Aku pun juga tidak lupa ikut
membantu memasak di dapur, meskipun aku seorang laki-laki, itu buatku bukan hal
yang tabu.
“ Fajar…Emak mau pergi kepasar dulu. Tolong sarapan buat adik-adikmu di
siapkanya?”
Tanya ku heran karena tidak seperti biasanya Emak hari Jumat pergi kepasar, biasanya kalau kepasar setiap hari minggu itu pun kalau ada uang.
“Kepasar mau belanja..”
rasa penasaranku pada Emak karna hari ini tidak biasa untuk belanja.
Dengan senyum khasnya yang mengambang dari raut wajahnya,
berarti sinyal itu menandakan. Ah tidak mungkin. Lalu mau apa kepasar? Tanyaku dalam
hati. Emak pun langsung pergi dengan membawa beberapa kayu bakar. Pikirku pasti
Emak akan menjual kayu bakar itu. Mudahkanlah langkahnya ya Allah. Aku selalu mendoakanmu
Emak.
***
Matahari terlihat mulai menampakkan
wujudnya dan menyebabkan warna oranye yang cerah dan udara yang sejuk menyelimuti
Kota Kartasura di pagihari. Pagi ini begitu cerah setelah hujan tadi malam yang
begitu lebat. Aku berjalan menuju kampus IAIN Surakarta untuk memulai
aktivitasku sebagai mahasiswa semester 7.
Sepeda motor dan angkuta umum berlalu lalang di sepanjang jalan pasar Kartasura. Selama ini aku tempuh kuliah dengan jalan kaki selain untuk belajar hemat dan karena jarak antara rumah dengan kampus tidak begitu jauh. Aku perhatikan disekitar orang-orang
disibukkan dengan aktivitasnya masing-masing. Mulai dari pedagang yang masih sibuk dengan tawar-menawar dengan para pembelinya. Ada juga tukang
parker yang sibuk mengatur kendaraan.
Seketika aku melihat orang-orang yang berada di pinggir jalan
berkerumun. Mereka ada yang berucap kasihan ibu itu mati gara-gara tabrak lari.
Aku pun penasaran segera mungkin untuk melihatnya. Beberapa menit kemudian
polisi dan ambulans datang. Aku berada dikerumunan orang-orang pasar. Mayat ibu
itu ditutupi daun pisang begitu sulit aku untuk melihatnya. Dilihat dari
pakaian yang dikenakan seperti Emak. Aku
semakin penasaran dengan mayat itu. Jantungku
berdebar kencang pikiranku melayang tak tentu arah. Apakah ini Emak, gumanku dalam hati.
Akhirnya, polisi membuka daun pisang itu dan ternyata aku hanya bias terbungkam tak bias berkataapa-apa. Aku ingin menjerit
sekeras-kerasnya. Emak jadi korban tabrak lari. Aku melihat dompet berwarna
hitam masih berada di genggamanya, Aku perhatikan ada beberapa ratus ribu uang
hasil dari menjual kayu bakar. Dunia seakan runtuh aku lemas dan terlelap
diantara kerumunan orang pasar. Sesak sekali dadaku. Aku tak percaya emak telah
tiada. Aku berteriak, menangis, berharap tidak secepat itu Emak meninggalkanku.
Emak gara-gara aku kini, kau telah pergi untuk selamanya. Emak maafkan anakmu. Teringat
sesaat pesan singkatmu malam itu
“Jangan pernah malu dengan apa yang dimiliki
oleh orang tua kalian.” Meskipun engkau hanya penjual kayu bakar tapi karna
inilah aku bisa kuliah. Emak ku kecup keningmu untuk terakhir kalinya. Selamat
jalan Emak. Berat hati ini untuk melepaskan orang yang aku cintai.
Air
mataku menetes...
-------------------------II--------------------
*Bergiat di komunitas Sastra Pakagula Sastra Karanganyar.