Tuesday, February 6, 2018

Cerpen

Titip Rindu untuk Ayah
Agus Yulianto
Pernah dimuat di Majalah Hadila

                                               Gambar https://pixabay.com/id/photos/

            Lima bulan yang lalu ayahku meninggalkan ibu. Tentu saja ibu sangat kecewa dengan sikap ayah yang semena-mena tanpa ada alasan yang jelas. Aku melewati hari-hari bersama ibu. Kami hidup serba pas-pasan. Ibu tidak menginjinkan aku untuk bekerja.  Aku sebagai anak merasa berdosa, tetapi apa yang bisa aku lakukan karena kondisi diriku yang tidak memungkinkan. Tuhan telah menguji diiriku dengan sebuah penyakit.
Awal cerita dari penyakitku:
            Penyakit ini berawal ketika aku berusia 5 tahun. Selayaknya anak seusia balita yang gemar berlari-larian dan melakukan hal-hal unik. Tidak aku sangka ternyata kebiasaan waktu kecil itu dapat membahayakan diriku. Saat itu, aku bersama teman-teman bermain jungkir-balik di halaman rumah tiba-tiba saja aku terjatuh. Kejadian itu sangat fatal mengganggu kecerianku. Akibatnya, kepalaku lemah ke kanan dan tak kuasa ditegakkan seperti semula. Kepala itu rebah ke bahu sebelah kanan atau orang padang menyebutnya dengan Teleng.  Tentulah hati ayah dan ibu miris melihat kondisiku. Berbagai pengobatan diupayakan, mulai dari medis hingga pengobatan tradisional sampai ke tukang urut. Tapi tak ada satu pun yang mempan membuat fisikku kembali normal.
            “Ibu, Kenapa  kepalaku ini? Kok tidak bisa digerakkan."  Saat itu Ibu hanya bisa menangis. Dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan kepadaku.
Ibu hanya bilang, “Kepalamu tidak apa-apa, Nak. Insyaallah, akan cepat sembuh asal  rajin minum obat dan istirahat yang cukup” jelas Ibu sambil menghibur diriku. Aku hanya bisa tersenyum karena aku belum bisa merasakan sakit yang aku derita. Maklum usiku dulu baru 6 tahun.
***
            Hari-hari aku lalui dengan perbedaan yang teramat mencolok dari anak-anak pada umumnya. Kesedihan terus bergelayut di batin kedua orang tuaku, terutama  ayah yang tak bisa membayangkan bagaimana kelak ketika aku dewasa.
            “Ayah, aku ingin bermain bersama teman-teman” pintaku.
            “ Jangan  bermain dulu!” tegas ayah.
            “Memangnya kenapa” aku pun menangis sejadi-jadinya.
Ayah bukannya mendiamkanku, tetapi dia berlalu begitu saja dari kamarku. Ketika melihat sikap ayah, Ibu tidak terima. Akhirnya, pertengkaran pun terjadi kembali. Hari-hari ku bagaikan dalam sebuah penjara. Hidup terkurung tidak sebebas yang dulu.  Aku hanya menonton sebuah adegan yang seharusnya tidak pantas aku tonton. Pertengkaran antara Ayah dan Ibu.
Semenjak itu  hari-hariku menjadi kelabu. Dunia ini seakan begitu sempit.  Aku hanya bisa menangis. Apa yang bisa aku lakukan dengan kondisi seperti ini. Apa selamanya aku akan menjadi benalu buat mereka? Akibat kecerobohan yang aku perbuat sendiri. Hingga akhirnya, ayah memilih untuk berpisah dengan ibu meskipun tak ada alasan yang jelas. Aku sempat berfikir, Apa karena diriku.  Aku hanya seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa tentang perpisahan ayah dan ibu. Saat itu aku hanya tahu ayah pergi ke luar kota untuk bekerja. Pamitnya padaku. Ayah sempat memberikan sebuah sajadah biru, dia hanya berpesan jika rindu pada ayah sujudlah dengan sajadah biru ini.
***
Kini  usiaku sudah  23 tahun, aku masih sama seperti yang dulu. Tidak ada yang bisa aku lakukan. Aku hanya menangis meratap kepada sang Pencipta. Hari-hari yang selalu di hiasi dengan air mata. Seakan hidup ini begitu membosankan.
 Pernah suatu ketika aku ingin mengakhiri semua perjalanan hidup ini, namun semua itu digagalkan oleh ibuku.
“Sadar, Nak!” gertak ibu padaku.
“Ingat sama yang Kuasa, kuatkan hatimu Nak.” ibu pun menangis sejadi-jadinya sambil memeluk diriku.
“Aku hanya anak sampah tidak berguna. Buat apa aku melanjutkan hidup ini. Kalau Tuhan saja tidak peduli padaku” aku sudah mulai putus asa.
“Kamu bicara apa” aku dipeluk begitu erat. Air mata kami mengalir begitu deras. Aku merasakan begitu hangatnya kasih sayang ibu.
Maafkan aku Ibu. Ucapku dalam hati. Ibu tidak henti-hentinya memintaku untuk mengucapkan istigfar. Bibir ini masih kelu, tetapi aku mencoba untuk mengucapkan kalimat yang maha dahsyat itu agar hatiku tidak mati.
           
***
Kini, orang tuaku adalah ibu. Aku tidak ingin membuat ibu terlalu mengkhawatirkanku. Bagiku ibu juga merupakan seorang ayah yang mengajarkan banyak hal padaku. Makna hidup dan sebuah cinta. Sedangkan ayah sosok yang sudah hilang dari ingatanku. Meskipun aku masih tetap saja merindukannya.
            “Maafkan aku bu karena sudah mengharuskan ibu turut dalam kehidupanku seperti ini.”
            “Tidak Nak, Ibu tidak merasakan hal itu. Yang terpenting bagi ibu adalah kebahagiaanmu dalam menjalani kehidupan ini.”
            “Ibu, Ayah sekarang tinggal dimana” aku memberanikan diri untuk bertanya pada Ibu. Mungkin ibu tahu tentang keberadaan ayah.
            “Kenapa kau masih mencari orang yang tidak sayang padamu?,”
            “Sebenarnya ayah masih sayang kepadaku. Aku masih bisa merasakan hal itu. Sebelum dia pergi meninggalkan kita, sempat mata ayah menatap ke arahku. Matanya terpancarkan cahaya kasih sayang. Aku yakin ayah masih sayang  meskipun kondisiku seperti ini.”
            “Sudahlah, biarkan dia hidup bersama keluarganya yang baru” ketika ibu mengatakan hal itu jujur saja aku kaget. Mata ini mulai sembab kembali. Ibu pun melayangkan sebuah surat yang sudah lama dia sembunyikan dariku. Dalam surat itu Ayah memutuskan untuk berpisah dengan ibu. Ayah juga mengirimkan sebuah foto bersama keluarganya yang baru. Aku sebagai anaknya sangat terpukul. Kenapa ibu menyembunyikan ini semua dariku?
            Aku perhatikan wajah ibu yang mulai layu kembali. Aku masih menyimpan sebuah pertanyaan yang sampai saat ini belum aku temukan jawabannya. Kenapa ayah meninggalkan Ibu? Sepertinya, ada yang ibu rahasiakan dariku.
            “Ibu, dalam setiap doa aku selalu bertanya pada yang Kuasa.”
            “Apa yang kau tanyakan?”
            “Sebuah perpisahan antara ayah dan ibu.” 
Ibu hanya diam mematung diri.
            “Ada sebuah rahasia yang selama ini ibu sembunyikan dariku.”
            Ibu hanya diam. Bagaikan patung yang mulai rapuh. Aku genggam tangan ibu yang sudah mulai layu tak bertenaga. Ibu pun memelukku seketika. Aku merasakan betul pelukan hangat tanda cintanya padaku. Sebuah pertanda tidak ingin pisah denganku.
            “Tidak ada sebab perpisahan antara ibu dengan ayah.” hanya itu jawaban ibu. Ibu pun melepaskan pelukannya berlalu meninggalkanku sendiri di dalam kamar ini.
***
            Sang surya mulai bersinar dalam kehidupanku. Seolah-olah teriknya tidak membawa pengaruh bagiku dalam menjalani kehidupan ini. Hari-hari yang aku lalui semakin mendewasakanku dalam setiap perjalanan waktu. Karena itulah aku ingin menjadi anak yang baik dalam segala hal. Membahagiakan orang yang aku cintai satu-satunya dalam hidupku;Ibu.
Terukir harapan dan doa agar aku dapat ikhlas menjalani semua pribadiku. Ku baca sebuah buku catatan usang yang ayah tinggalkan dulu. Buku itu tersimpan rapi di rak buku ku. Arus waktu membawaku dalam masa kecilku dulu.  Setiap malam menjelang aku  tidur, ayah sering bercerita tentang Kisah Pangeran dan Putri Salju. Di sela-sela ayah bercerita, dia  menulis di buku catatannya yang selalu di simpan dalam rak buku di kamarku. Saat itu aku tidak tahu apa yang ayah tulis. Aku hanya berfikir mungkin itu bagian dari pekerjaan ayah.
Aku buka buku catatan itu, di halaman depan ada sebuah fotoku bersama ayah dan ibu. Ku buka halaman kedua ada sebuah tulisan Aku sangat menyayangi kalian semuanya. Aku buka halaman ketiga tertulis nama Ibu “ Aini” dengan huruf kapital di bawah tulisan nama itu ada sebuah kalimat  cinta tak selamanya memiliki. Aku anggap ini hal biasa. Ku buka halaman berikutnya sampai aku menemuka sebuah kalimat di halaman terakhir dalam catatan itu, ketika tidak ada cinta dalam membangun mahligai rumah tangga. Aku tidak yakin untuk mempertahankan semua ini. Aku sampai detik ini masih tetap mencintainya. Maafkan aku tidak bisa melupakannya
Ku tutup buku itu dan ku tutup dengan doa.  Kini, aku telah menemukan sebuah jawaban.  Meskipun hanya satu pernyataan namun dapat menjelaskan semua kenyataan.
           
           



No comments:

Tulisan Disukai Pembaca

Mengulas Buku Fiksi Antologi Cerpen Amygdala

  Amygdala Sebuah Proses Kehidupan www.agusyulianto.com   Judul Buku : Antologi Cerpen FLP Jawa Tengah Amygdala Penulis : Rahman Hanifan, ...